Beranda News Marak Penipuan Online, OJK Catat Kerugian Rp726,6 Miliar dari 44.236 Laporan

KabarMakassar.com — Isu penipuan yang semakin marak di tengah pesatnya perkembangan teknologi terus menjadi perhatian publik.
Bidang Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), forum koordinasi OJK dalam penanganan penipuan, mencatatkan total 44.236 laporan dengan total kerugian yang dilaporkan sebesar Rp726,6 miliar.
Laporan tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (19/02), yang berlangsung di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Senayan.
PEPK OJK juga mengungkapkan bahwa berbagai modus penipuan, seperti pembobolan rekening, skimming (pencurian informasi kartu debit atau kredit), phishing (pencurian informasi pribadi), dan social engineering (manipulasi psikologis), menjadi isu utama dalam layanan pengaduan.
Menanggapi hal tersebut, anggota DPR RI Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra, Annisa M.A. Mahesa, turut menyoroti maraknya penipuan digital.
Dalam rapat tersebut, Annisa mengungkapkan bahwa ia sering menerima laporan terkait kasus penipuan, terutama yang melibatkan pengerjaan tugas online melalui aplikasi scam.
“Modusnya menawarkan pekerjaan mudah, seperti subscribe, like, atau komentar di akun YouTube tertentu. Awalnya, korban menerima komisi kecil, lalu meningkat seiring tugas tambahan. Namun, pada tahap selanjutnya, korban diminta melakukan deposit dengan janji komisi lebih besar,” jelas Annisa.
Annisa menegaskan bahwa pola ini adalah manipulasi psikologis yang membuat korban percaya bahwa uang yang mereka keluarkan akan kembali dalam jumlah lebih besar.
“Perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui apakah blokir rekening penipu sudah efektif. IASC juga harus menemukan solusi penyelesaian konflik yang benar-benar efektif, karena masyarakat tidak hanya butuh tempat pengaduan, tapi juga uang mereka kembali,” ujarnya.
“OJK harus mencari solusi yang lebih efektif dari hulu ke hilir agar uang korban bisa dikembalikan,” lanjutnya.
Annisa juga menyoroti Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) OJK, yang seharusnya menjadi solusi bagi konsumen.
Namun, hingga saat ini, LAPS dinilai belum berfungsi optimal karena proses penyelesaian sengketa masih memakan waktu lama dan biaya tinggi.