UU Cipta Kerja Digugat, Pemohon Soroti 7 Pasal Bermasalah Terkait Agraria dan PSN

6 days ago 10
UU Cipta Kerja Digugat, Pemohon Soroti 7 Pasal Bermasalah Terkait Agraria dan PSN Gedung Mahkamah Konstitusi (Dok : Int).

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan permohonan uji materi UU Cipta Kerja, dengan fokus baru pada tujuh pasal yang dinilai bermasalah dalam isu agraria dan pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sidang kedua perkara Nomor 213/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh sejumlah organisasi petani dan masyarakat sipil, termasuk SPI, KPA, Bina Desa, API, Pemantau Sawit, SPKS, dan KIARA.

Dalam sidang tersebut dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat diruang persidangan MK, yang berlangsung pada Senin (01/12).

Kuasa hukum Pemohon, Dhona El Furqon, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan penyempurnaan permohonan, baik dari sisi kedudukan hukum maupun komponen pasal yang diuji.

“Kami memperbaiki legal standing dan kerugian konstitusional para Pemohon, sekaligus memangkas jumlah pasal yang diuji dari 13 menjadi 7 pasal. Petitum juga disesuaikan dari 13 menjadi 11,” ujar Furqon.

Menurutnya, Pemohon kini memusatkan keberatan pada Pasal 10, 19A, 34, 125, 137, 138, dan 173 UU Cipta Kerja. Pasal-pasal tersebut, kata Furqon, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (3), serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena berpotensi merugikan masyarakat, khususnya dalam isu reforma agraria.

Para Pemohon menilai bahwa sebagian ketentuan UU Cipta Kerja justru menjauh dari prinsip reforma agraria yang telah ditetapkan pemerintah sebagai program prioritas nasional.

Mereka mempersoalkan aturan pengecualian sanksi administratif bagi masyarakat yang tinggal minimal lima tahun di kawasan hutan karena dinilai menimbulkan ambiguitas status dan ketidakpastian perlindungan hukum.

“Pengaturan itu menciptakan ruang abu-abu yang tidak melindungi masyarakat di sekitar kawasan hutan, padahal mereka yang seharusnya mendapatkan kepastian hukum,” tegas Pemohon dalam keterangannya.

Isu yang paling disoroti ialah perluasan definisi proyek pengadaan tanah bagi kepentingan umum dalam Pasal 123 angka 2 UU Cipta Kerja. Pemohon menilai perluasan ini mengaburkan batas antara proyek publik dan proyek bisnis swasta. Mereka menilai, melalui mekanisme tersebut, proyek swasta dapat ditetapkan sebagai PSN dan otomatis memperoleh kemudahan sebagaimana diatur dalam PP 42/2021.

“Frasa diprakarsai dan/atau dikuasai dalam norma itu membuka ruang bagi pengusaha untuk masuk dalam kategori kepentingan umum, dan itu menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat,” kata Furqon.

Pemohon juga menuding adanya tren swastanisasi pengadaan tanah atas nama kepentingan umum, merujuk pada daftar indikasi PSN 2025–2029 yang mencakup sejumlah proyek swasta sektor pertambangan. Mereka menilai langkah tersebut berpotensi merugikan warga, karena proyek swasta yang diberi fasilitas negara belum tentu menjawab kebutuhan publik.

“Masyarakat bisa terdampak pengadaan tanah untuk proyek yang sejatinya tidak memiliki nilai publik. Ini bentuk diskriminasi terselubung,” tegas para Pemohon.

Lebih jauh, Pemohon menilai praktik tersebut bertentangan dengan prinsip “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Mereka mengingatkan bahwa MK melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 telah menetapkan empat tolok ukur kepentingan umum, termasuk bahwa pembangunan harus dilakukan pemerintah, hasilnya dimiliki pemerintah, dan tidak berorientasi pada keuntungan.

“Hingga kini belum ada parameter jelas kapan suatu pembangunan dapat dikatakan demi kepentingan umum. Kekosongan aturan ini membuka banyak potensi penyimpangan,” ujar kuasa hukum Pemohon.

Diketahui, sidang uji materi ini akan berlanjut dalam agenda berikutnya dengan mendengarkan keterangan dari pihak Pemerintah dan DPR.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news