Para Pemohon saat Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 230/PUU-XXIII/2025, (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Delapan warga dari berbagai provinsi di Tanah Papua mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan perubahan komposisi kursi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dari unsur Orang Asli Papua (OAP) yang kini hanya ditetapkan sebesar ¼ dari jumlah anggota hasil pemilu.
Mereka menilai perubahan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua tersebut menggerus prinsip kekhususan Papua sebagaimana diamanatkan Otsus 2001.
“Angka 1¼ diubah menjadi ¼, apa dasar hukumnya?” tegas Alexandra Elfrieda Mayor, Pemohon I, dalam sidang pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (03/12).
Ia menambahkan, “Kami meminta Mahkamah memutuskan agar komposisi kursi DPRP dikembalikan ke pengaturan awal, yakni 1¼ kali dari jumlah anggota hasil pemilu.”
Permohonan Nomor 230/PUU-XXIII/2025 itu mempersoalkan Pasal 6 ayat (1a) dan ayat (2) UU Otsus Papua yang mengatur bahwa anggota DPRP dari unsur OAP berjumlah ¼ dari total anggota terpilih.
Padahal, aturan sebelumnya menetapkan jumlah kursi OAP mencapai 1¼ kali dari anggota DPRP hasil pemilu, meskipun ketentuan tersebut tidak pernah dilaksanakan sejak Otsus diberlakukan pada 2001.
Menurut para Pemohon, perubahan tersebut secara substansial “menghilangkan status keistimewaan enam provinsi di Papua” karena mengurangi proporsi representasi politik OAP yang menjadi inti dari kebijakan afirmatif Otsus. Mereka berpendapat bahwa frasa ¼ tidak memiliki landasan hukum yang memadai dan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan ¼ tidak mengikat serta memerintahkan penegasan kembali perbedaan istilah DPR Papua (DPRP) dan DPRD Provinsi Papua.
“Istilah yang berbeda harus diikuti fungsi yang jelas, agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan,” ujarnya dalam berkas permohonan.
Selain Alexandra, Pemohon lain adalah Pinus Heluka, Timotius Sukai, Maccleurita Bardorita Marianti, Aberaham Bayage, Aser Yaas, Zefanya Agapa, dan Bartholomeos Bokoropces. Namun, Maccleurita tidak hadir pada sidang perdana tersebut.
Majelis Panel Hakim dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, dengan anggota Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam sesi nasihat, Arsul menyoroti kelemahan petitum Pemohon.
“Petitum ini belum sesuai dengan apa yang diatur mulai dari Pasal 24C UUD hingga PMK. Ibu harus baca betul apa kewenangannya,” ujarnya memberi peringatan.
Saldi memberikan waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. “Berkas perbaikan, baik softcopy maupun hardcopy, harus diterima paling lambat 16 Desember 2025 pukul 12.00 WIB,” tutupnya.


















































