KabarMakassar.com — Bulan April dahulu sangat identik dengan RA Kartini. Tanggal 21 April rutin diperingati melalui beragam program dan acara, khususnya di lingkungan sekolah. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan derasnya arus informasi, gaung Hari Kartini kini tidak lagi seramai dulu.
Meski begitu, semangat perjuangan RA Kartini belum sepenuhnya redup. Emansipasi yang dulu terkait dengan kesetaraan akses pendidikan kini berkembang menjadi isu yang lebih luas, seperti kesetaraan gender, keadilan gender, feminisme, hingga perempuan mandiri.
Lalu, apakah lirihnya perbincangan tentang RA Kartini ikut memudarkan ketokohannya? Apakah Hari Kartini masih dianggap penting?
Salah satu perusahaan konsultasi statistik sekaligus penelitian, StatsMe, melakukan survei terbatas pada 9–15 April 2025 terhadap 109 responden yang tersebar di Pulau Jawa dan Sulawesi dan sebagian besar merupakan Generasi Z (Gen Z).
Direktur StatsMe, Lussi Agustin menjelaskan survei yang dilangsungkan pada 9–15 April 2025 ini di dominasi responden dari Jawa Timur sebesar 80 persen.
Fokus utama survei adalah Generasi Z, kelompok yang tumbuh di era digital dan akrab dengan media sosial. StatsMe ingin melihat bagaimana generasi ini memaknai sosok RA Kartini dan perjuangannya dalam konteks zaman sekarang.
““Survei terbatas kali ini memang sengaja menyasar Gen Z. Sebab, mereka adalah kalangan yang melek teknologi, menghabiskan lebih banyak waktu di dunia maya, dan selalu menjadi sorotan tajam lantaran karakternya,” ujarnya, Sabtu (19/04).
Hasilnya menunjukkan bahwa RA Kartini belum sepenuhnya terlupakan. Sebanyak 82,57 persen responden masih tahu bahwa 21 April adalah Hari Kartini.
Sebagian besar dari mereka juga menilai bahwa RA Kartini tetap berpengaruh, bahkan sangat berpengaruh, dalam memperjuangkan kesetaraan hak perempuan di Indonesia. Sebanyak 64,22 persen responden menyebut Kartini sebagai tokoh yang sangat berpengaruh, sementara 32,11 persen lainnya menyebut perjuangannya tetap relevan.
Namun, menariknya, makna emansipasi perempuan telah bergeser di benak Gen Z. Jika dulu emansipasi lebih banyak diartikan sebagai perjuangan perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan, kini maknanya menjadi lebih luas.
“Hari-hari ini, makna emansipasi sudah bergeser menjadi lebih luas. Tidak hanya tentang kesetaraan akses di dunia pendidikan,” jelas Lussi.
Sebanyak 58 persen responden mengaitkan emansipasi dengan kesetaraan gender secara umum. Sementara 18 persen lainnya melihat emansipasi sebagai kebebasan dan kemandirian perempuan dalam menentukan masa depannya sendiri baik dalam pendidikan, karier, maupun peran sosial.
Sisanya, 24 persen responden masih mengaitkan emansipasi dengan semangat perjuangan perempuan seperti yang digelorakan Kartini.
Salah satu temuan menarik dari survei ini adalah peran besar sekolah dalam memperkenalkan dan menjaga semangat RA Kartini.
Sebanyak 63 persen responden menyatakan bahwa peringatan Hari Kartini terakhir yang mereka ikuti berlangsung di sekolah.
Hal-hal yang bersifat seremonial seperti memakai baju adat, mengikuti lomba, atau upacara sederhana ternyata cukup berkesan dan membuat mereka tetap ingat akan tokoh Kartini.
Aktivitas-aktivitas inilah yang justru memperkuat jejak Kartini di benak Gen Z, meskipun tak selalu diiringi dengan diskusi mendalam soal sejarah atau ideologinya.
“Rupanya, segala bentuk peringatan maupun perayaan yang sifatnya seremonial penting bagi generasi muda. Buktinya, hal-hal yang seremonial itulah yang justru membuat mereka selalu ingat pada RA Kartini dan ingat bahwa 21 April adalah Hari Kartini,” terang Lussi.
Meski kesadaran akan pentingnya peran Kartini masih terjaga, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki belum sepenuhnya tercapai.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan Gender (IKG) mengalami penurunan dari 0,459 pada 2023 menjadi 0,447 pada 2024. Penurunan sebesar 0,012 poin ini memang menunjukkan perbaikan, tetapi belum cukup signifikan untuk mengatasi kesenjangan yang ada.
Budaya patriarki masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh 52,29 persen responden yang menyebut patriarki sebagai penghalang terbesar.
“Ada banyak sekali anggapan miring terhadap perempuan dalam masyarakat akibat budaya patriarki yang kental. Ini tentunya sangat disayangkan,” tutur Lussi.
Masih banyak anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan sebaiknya berada di ranah domestik, menjadi pendamping, bukan pemimpin.
Perempuan yang mandiri secara finansial pun kadang dianggap mengancam posisi laki-laki. Stereotip semacam ini diwariskan dari generasi ke generasi, mengakar dalam sistem sosial, dan sulit diubah tanpa usaha yang konsisten dan kolaboratif.
Selain itu, dunia kerja juga masih menyimpan tantangan tersendiri bagi perempuan. Sebanyak 36,7 persen responden menyatakan bahwa kesenjangan dalam kesempatan kerja menjadi hambatan serius.
Hal ini meliputi ketimpangan upah, terbatasnya peluang promosi, hingga adanya pandangan bahwa perempuan tidak cocok bekerja di bidang-bidang tertentu.
Akibatnya, perempuan sering kali harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dan posisi yang sama dengan laki-laki.
“Itu membuat perempuan harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dan posisi yang sama dengan laki-laki,” Lussi.
Survei ini menunjukkan bahwa meski semangat RA Kartini masih hidup, perjuangan untuk kesetaraan belum selesai. Generasi Z mengenalnya, memaknainya, dan merayakannya terutama di lingkungan sekolah.
Namun, mereka juga menyadari bahwa dunia nyata masih belum sepenuhnya mencerminkan semangat Kartini. Butuh lebih dari sekadar perayaan tahunan; dibutuhkan perubahan sistemik dan budaya agar cita-cita Kartini bisa benar-benar terwujud. Sebab seperti pesan Kartini, terang tidak akan datang begitu saja. Ia harus diperjuangkan, dinyalakan, dan dijaga bersama.
Sebagai informasi, PT. Cemerlang Statistika Indonesia bergerak dalam bidang jasa konsultasi, pelatihan dan penelitian yang didirikan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Hadir dengan branding “StatsMe!” yang memberikan solusi dari permasalahan perusahaan swasta dan pemerintahan dalam menentukan kebijakan. Selain itu, membantu memberikan data dan informasi yang valid dalam rangka menyusun perencanaan sebagai langkah strategis mencapai tujuan organisasi.