Krisis Literasi Siswa SMP Disorot DPR, Target Indonesia Emas 2045 Terancam

2 months ago 26
Krisis Literasi Siswa SMP Disorot DPR, Target Indonesia Emas 2045 Terancam Anggota DPR dari Fraksi NasDem, Furtasan Ali Yusuf, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Isu rendahnya kemampuan literasi di kalangan pelajar menengah kembali mencuat ke permukaan.

Dalam rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (16/07), anggota DPR dari Fraksi NasDem, Furtasan Ali Yusuf, mengungkapkan temuan mencengangkan, masih ada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang belum bisa membaca.

Furtasan, legislator dari Daerah Pemilihan Banten II yang meliputi Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon, menyampaikan bahwa kondisi tersebut ia temukan secara langsung di lapangan, khususnya di wilayah Serang, Banten.

“Banyak di lapangan, Pak Menteri, saya menemukan anak kelas 1 dan kelas 2 SMP sampai sekarang belum bisa baca,” ungkapnya di hadapan Mendikdasmen Abdul Mu’ti.

Pernyataan ini memantik keprihatinan publik terhadap kesenjangan antara capaian nasional dan realitas di lapangan. Menurut data resmi, capaian tingkat literasi nasional saat ini telah mencapai 68 persen, sementara numerasi berada di angka 66 persen. Namun angka-angka tersebut dinilai belum mencerminkan kondisi riil pendidikan dasar di berbagai daerah, terutama wilayah pinggiran dan pelosok.

Furtasan secara terbuka menyatakan kekhawatirannya bahwa kondisi ini dapat menghambat pencapaian visi besar Indonesia Emas 2045, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara maju tepat pada 100 tahun kemerdekaannya.

“Kalau begini terus, saya jujur saja, 2045 ini saya khawatir, bukannya emas malah cemas,” ujarnya menohok.

Masalah pokok, menurut Furtasan, terletak pada sistem pendidikan yang belum sepenuhnya menekankan kemampuan dasar seperti membaca sebagai syarat utama keberhasilan belajar. Ia mencontohkan kebijakan dalam kurikulum sebelumnya yang membolehkan siswa naik kelas meski belum bisa membaca.

“Saya coba bertanya ke sekolah, kenapa ini bisa terjadi, Pak Kepala Sekolah? Ternyata memang kurikulum yang kita terapkan tidak mengharuskan anak bisa baca sebagai syarat naik kelas,” terangnya.

Kondisi ini membuat siswa mengalami stagnasi dalam kemampuan literasi, meskipun mereka terus naik kelas sesuai sistem administrasi pendidikan. Furtasan pun menyebut hal ini sebagai ironi dalam era digital dan modernisasi pendidikan.

“Anak-anak sekarang diajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi masih kerepotan dalam membaca. Ini sangat kontradiktif,” tukasnya.

Pernyataan Furtasan menggambarkan urgensi perbaikan mendasar dalam sistem pendidikan, terutama dalam menanamkan kemampuan literasi sebagai fondasi utama. Dalam konteks ini, Kemendikdasmen ditantang untuk merancang kebijakan yang lebih tajam dan realistis, serta melakukan evaluasi mendalam terhadap kurikulum yang selama ini diterapkan.

Furtasan mendesak agar Kementerian segera menyusun intervensi yang konkret, mulai dari pembinaan guru, penguatan metode pembelajaran dasar, hingga mekanisme evaluasi yang tidak hanya menekankan kuantitas kelulusan, tetapi juga kualitas kompetensi dasar peserta didik.

Masalah rendahnya literasi pelajar, khususnya kemampuan membaca, selama ini juga menjadi perhatian banyak lembaga survei dan pemantau pendidikan. Berdasarkan laporan Asesmen Nasional beberapa tahun terakhir, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam literasi membaca, terutama di jenjang SD dan SMP.

Jika tidak segera ditangani, krisis ini berpotensi menjadi bom waktu yang menghambat daya saing generasi muda di masa depan. Padahal, keberhasilan mewujudkan Indonesia Emas 2045 sangat bertumpu pada kualitas sumber daya manusia, dimulai dari kemampuan paling dasar: membaca.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news