KabarMakassar.com — Praktik rekrutmen tenaga non-ASN atau honorer di lingkup Pemerintah Kota Makassar kini menjadi sorotan tajam setelah terungkap indikasi kuat keberadaan pegawai fiktif di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Isu ini mencuat pertama kali setelah Anggota Komisi A DPRD Makassar, Andi Makmur Burhanuddin menemukan fakta pegawai fiktif dan upaya pendataan ulang tenaga non-ASN, sejalan dengan edaran dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Masalah utama yang dihadapi adalah fenomena ‘jalur jendela’, yakni praktik penempatan pegawai honorer tanpa seleksi resmi, yang dilakukan atas dasar kedekatan personal, keluarga, atau kepentingan politik.
Pemerhati Pelayanan Publik dan Mantan Ketua Ombudsman RI wilayah Sulsel, Subhan Djoer, menilai bahwa fenomena honorer fiktif ini merupakan penyakit lama yang tak kunjung disembuhkan. Ia mendesak Pemkot Makassar mengambil langkah berani dan tegas, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap tenaga kontrak fiktif.
“Keberadaan mereka membebani anggaran daerah dan menutup peluang bagi pegawai yang benar-benar bekerja. Jangan hanya evaluasi, tapi langsung PHK pegawai fiktif,” tegas Subhan, Minggu (18/5).
Lebih jauh, Subhan meminta agar Pemkot juga menyelidiki siapa yang bertanggung jawab atas rekrutmen ilegal tersebut. Baginya, tindakan memasukkan pegawai fiktif bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi sudah masuk ranah pidana korupsi karena merugikan keuangan negara.
“Sudah saatnya diberikan sanksi tegas, bahkan pidana, kepada siapa pun yang menyalahgunakan kewenangannya. Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih,” tambahnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Subhan menyarankan agar Pemkot Makassar membangun sistem rekrutmen yang transparan, terintegrasi, dan bisa diaudit secara berkala. Selain itu, diperlukan mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang lebih kuat untuk mencegah manipulasi data.
“Evaluasi harus dilakukan oleh pihak independen dan hasilnya dipublikasikan. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi ajang kosmetik birokrasi,” tegasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi A DPRD Makassar, Andi Makmur Burhanuddin, menyampaikan bahwa hasil kunjungan kerja dan inspeksi ke sejumlah OPD memperkuat dugaan adanya ribuan pegawai kontrak yang hanya ada di atas kertas. Beberapa di antaranya memiliki Surat Keputusan (SK) resmi, namun tidak pernah menjalankan tugas.
“Kami menemukan pegawai yang punya SK, tapi tidak pernah melapor atau hadir di kantor. Ini bukan hanya soal ketidakhadiran, tapi menyentuh ranah pelanggaran etika dan hukum dalam pengelolaan anggaran,” ujar Makmur.
Ia menekankan bahwa evaluasi terhadap keberadaan Laskar Pelangi (tenaga non-ASN Pemkot Makassar) harus dilakukan menyeluruh. Verifikasi tak boleh hanya mengandalkan dokumen, tetapi juga harus melalui cek fisik langsung di lapangan.
Langkah konkret mulai terlihat dari Dinas Pendidikan Kota Makassar, yang telah memerintahkan pendataan ulang tenaga kontrak di seluruh SD dan SMP. Pendataan ini menjadi langkah awal pembenahan sistem rekrutmen yang selama ini dianggap tidak transparan.
Komisi A DPRD mendukung penuh langkah tersebut, bahkan berkomitmen memperluas pemantauan ke semua SKPD dan kecamatan.
“Kalau kendaraan dinas bisa dicek keberadaannya, pegawai juga bisa. Kami akan turun langsung untuk mencocokkan data administrasi dengan realitas di lapangan,” kata Makmur.
Sementara itu, Pemerintah Kota Makassar sendiri tengah mempercepat proses pendataan, mapping, dan validasi tenaga non-ASN, sesuai arahan BKN. Ini menjadi bagian dari penyusunan Roadmap penyelesaian masalah tenaga kontrak, yang nantinya bisa menjadi dasar keputusan siapa yang dipertahankan dan siapa yang diberhentikan.
Dalam temuan internal Pemkot, telah terdeteksi adanya pegawai non-ASN yang tercatat di daftar gaji, namun tak pernah menjalankan tugas, indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran dan permainan internal dalam sistem birokrasi.
Kepala BPSDMD Kota Makassar, Akhmad Namsum, pada Sabtu (17/05). Ia menjelaskan bahwa tidak ada pemberhentian sepihak terhadap pegawai non ASN, melainkan proses validasi dan penyesuaian status kepegawaian berdasarkan aturan yang berlaku secara nasional.
“Tidak benar jika disebutkan ada PHK massal. Ini murni penataan yang didasarkan pada aturan pemerintah pusat, bukan kebijakan sepihak dari pemerintah daerah,” kata Namsum.
Langkah ini merujuk pada Surat Edaran BKN Nomor 018/R/BKN/VIII/2022 dan Surat Menteri PAN-RB Nomor B/1511/M.SM.01.00/2022, yang meminta seluruh instansi pemerintah mendata pegawai non ASN sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi dan efisiensi belanja pegawai.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 menegaskan bahwa semua pegawai di instansi pemerintah harus memiliki status kepegawaian yang jelas, sehingga tenaga non ASN yang belum mengikuti seleksi PPPK tidak dapat lagi dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Memang tidak boleh lagi ada anggaran untuk tenaga honorer. Tapi jika dibutuhkan, pemerintah daerah masih bisa menggunakan skema pengadaan jasa perorangan,” ujarnya.
Namsum menambahkan, mekanisme ini sejalan dengan Surat Dirjen Keuangan Daerah Nomor 900.1.1664, yang mengatur bahwa penggajian tenaga non ASN hanya dimungkinkan melalui jalur tertentu, seperti seleksi PPPK atau kontrak kerja berbasis jasa perorangan.
Ia juga menegaskan bahwa tenaga non ASN yang mengikuti seleksi PPPK, namun belum mendapat formasi, tetap bisa memperoleh penghasilan sebagai PPPK paruh waktu, dengan sistem penggajian yang diatur oleh pemerintah daerah.
“Kalau tidak ikut seleksi PPPK dan tidak terdata, maka secara regulasi tidak bisa lagi dibiayai melalui APBD,” jelasnya.