
KabarMakassar.com — Akademisi Universitas Pancasakti (Unpacti) Makasassar, Hardianto Haris, mengkritik kebijakan Pemerintah Daerah Jeneponto dibawah kepemimpinan Bupati Paris Yasir.
Kritikan ini muncul menyusul Bupati Paris Yasir menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 400 persen. Akibat kebijakan tersebut, Masyarakat Jeneponto merasa terbebani dengan nilai yang berada dibatas kewajaran.
Hardianto Haris mengatakan bahwa kebijakan publik seharusnya lahir dari nalar keadilan dan kepentingan bersama, bukan dari ambisi atau kalkulasi politik yang buta terhadap realitas hidup rakyat.
Namun, langkah Bupati Jeneponto yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 400 persen, tampaknya justru menjadi bukti bahwa sebagian penguasa daerah semakin jauh dari denyut nadi masyarakatnya.
“Kenaikan yang sangat drastis ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga melukai rasa keadilan publik,” ujarnya saat dikonfirmasi. Kamis, (14/08).
Menelisik persoalan tersebut, mari kita berbicara dengan logika sederhana. Misalnya saja kata dia, Kabupaten Pati, kenaikan PBB sebesar 250% saja telah memicu gelombang protes, dialog panas antara warga dan pemerintah, serta ancaman penolakan massal. Lalu, apa yang mendorong Bupati Jeneponto berani menaikkan hingga 400%?.
Dibalik kebijakan tersebut, Hardianto menyebut apakah situasi ekonomi masyarakat Jeneponto sedang membaik? Apakah penghasilan petani, nelayan, dan pedagang meningkat empat kali lipat? Jawabannya jelas, tidak.
Justru sebaliknya, kata dia, daerah ini masih berjuang keluar dari lilitan kemiskinan, keterbatasan infrastruktur, dan minimnya peluang ekonomi.
“Kebijakan seperti ini lebih mirip pungutan paksa yang dibungkus istilah penyesuaian tarif, padahal efeknya adalah menggerus sisa-sisa daya beli rakyat,” terangnya.
Bahkan, petani yang memiliki lahan bukan lagi memikirkan panen, tetapi pusing menghitung bagaimana membayar pajak. Nelayan yang bergantung pada hasil tangkap tidak akan mampu mengimbangi beban PBB yang melonjak.
Selain itu, pedagang kecil, yang omzetnya stagnan, akan terhimpit di antara naiknya harga kebutuhan pokok dan kewajiban pajak yang mencekik. Yang lebih menyakitkan, kenaikan ini dilakukan tanpa sosialisasi yang memadai.
Terlebih lagi, kebijakan ini diambil pemerintah tanpa ada penjelasan komprehensif mengenai urgensi, penggunaan, dan manfaat konkret dari dana tambahan yang akan dipungut.
Oleh sebab itu, kebijakan yang lahir tanpa transparansi seperti ini akan selalu dicurigai sebagai bentuk kesewenang-wenangan fiskal, yang di kemudian hari dapat berpotensi menjadi bahan bakar konflik sosial,”timpalnya.
Semestinya dalam kondisi ini, Pemerintah daerah harus memahami bahwa pajak adalah kontrak sosial, rakyat membayar karena percaya bahwa pemerintah akan mengelola dana tersebut demi kesejahteraan bersama.
Tapi ketika kepercayaan itu dikhianati oleh kebijakan yang mengabaikan realitas ekonomi rakyat, kontrak sosial itu runtuh. Dan ketika kepercayaan runtuh, yang tersisa hanyalah kemarahan, protes, dan resistensi.
“Jika Bupati Jeneponto bersikeras mempertahankan kebijakan ini, maka ia sedang menanam benih konflik yang akan sulit dipadamkan. Alih-alih berniat menciptakan pembangunan yang inklusif, kebijakan ini justru akan memperlebar jurang antara penguasa dan rakyatnya,” terangnya.
Mengelola daerah bukan hanya soal menghimpun pendapatan, tetapi bagaimana melakukannya dengan cara yang adil, proporsional, dan manusiawi.
Sayangnya, dalam kasus ini, keadilan dan kemanusiaan justru dikorbankan demi angka-angka yang belum tentu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.