KabarMakassar.com — Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi tahunan (year-on-year) pada Juni 2025 sebesar 1,87 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,27 pada Selasa (01/07).
Angka ini lebih rendah dibanding inflasi Juni 2024 yang mencapai 2,51 persen, dan 3,52 persen pada Juni 2023. Ini menandakan tekanan harga yang masih terkendali, meski sejumlah komoditas utama seperti beras dan kebutuhan konsumsi rumah tangga menunjukkan tren kenaikan.
Secara spesifik, Papua Selatan mencatat inflasi y-on-y tertinggi di level provinsi, yakni 3,00 persen dengan IHK sebesar 111,03.
Sebaliknya, inflasi terendah terjadi di Sumatera Barat, hanya 0,45 persen dengan IHK sebesar 108,41. Sementara itu, Papua Barat mengalami deflasi terdalam secara tahunan sebesar 0,67 persen, diikuti oleh Bengkulu dengan deflasi 0,10 persen.
Pada level kabupaten/kota, inflasi tertinggi terjadi di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebesar 4,00 persen dengan IHK 112,25. Ini menandai tekanan harga yang signifikan di kawasan timur Indonesia.
Di sisi lain, inflasi terendah terjadi di Kota Tanjung Pinang dengan hanya 0,07 persen. Adapun deflasi terdalam tercatat di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, sebesar 1,34 persen, disusul Kabupaten Karimun sebesar 0,15 persen.
Secara bulanan (month-to-month/m-to-m), inflasi Juni 2025 tercatat 0,19 persen, sedangkan inflasi tahun kalender (year-to-date/y-to-d) mencapai 1,38 persen.
Untuk komponen inti, inflasi y-on-y tercatat 2,37 persen, dengan inflasi m-to-m sebesar 0,07 persen, dan y-to-d 1,24 persen.
Inflasi tahunan terjadi akibat kenaikan harga pada sebagian besar kelompok pengeluaran, terutama:
- Perawatan pribadi dan jasa lainnya naik drastis sebesar 9,30 persen
- Makanan, minuman dan tembakau naik 1,99 persen
- Pendidikan naik 1,82 persen
- Kesehatan naik 1,84 persen
- Penyediaan makanan/minuman (restoran) naik 1,95 persen
- Transportasi naik tipis 0,15 persen
Petani Diuntungkan, Tapi Masih Ada Ketimpangan Regional
Selain inflasi, BPS juga merilis Nilai Tukar Petani (NTP) nasional yang naik 0,47 persen menjadi 121,72 pada Juni 2025.
Kenaikan ini didorong oleh peningkatan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,70 persen, yang lebih tinggi dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,23 persen. Artinya, secara umum, daya beli petani terhadap input produksi dan kebutuhan konsumsi mengalami perbaikan.
Secara regional, Jawa Timur mencatat kenaikan NTP tertinggi sebesar 2,75 persen, menandakan penguatan ekonomi sektor pertanian di wilayah tersebut.
Sebaliknya, Sulawesi Tenggara mencatat penurunan NTP terdalam sebesar 2,84 persen, menandakan tekanan terhadap kesejahteraan petani yang masih perlu diwaspadai.
Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional juga mengalami peningkatan sebesar 0,55 persen menjadi 125,39, yang mengindikasikan membaiknya profitabilitas usaha pertanian rumah tangga.
Harga Beras Naik Serempak, Kualitas Pecah Jadi Pemicu Kenaikan Tajam
Salah satu pendorong utama inflasi Juni 2025 adalah kenaikan harga beras di tingkat penggilingan.
BPS mencatat, dari total transaksi beras di 33 provinsi, 52,65 persen adalah beras kualitas medium, disusul premium (35,26 persen), submedium (10,88 persen), dan pecah (1,21 persen).
Harga rata-rata beras kualitas:
- Premium: Rp13.268/kg (naik 2,05% m-to-m)
- Medium: Rp12.869/kg (naik 2,33%)
- Submedium: Rp12.675/kg (naik 1,25%)
- Pecah: Rp13.333/kg (naik 2,71%)
Khusus beras pecah, meski volumenya kecil, lonjakan harga mencapai 10,44 persen secara tahunan, menjadikannya salah satu pemicu inflasi pangan yang perlu diwaspadai, terutama di wilayah yang mengandalkan jenis beras tersebut sebagai konsumsi utama masyarakat kelas bawah.
Inflasi Masih Terkendali, Tapi Ada “Warning Sign” di Timur Indonesia
Secara makro, laju inflasi nasional Juni 2025 masih berada di zona aman dan jauh di bawah ambang batas Bank Indonesia (BI) sebesar 3 persen ±1 persen.
Namun, disparitas inflasi antardaerah mencerminkan adanya ketimpangan pengendalian harga dan distribusi barang, terutama di wilayah timur seperti Papua Selatan dan Luwuk.
Kenaikan harga beras yang merata di semua kualitas menunjukkan tekanan dari sisi produksi dan distribusi pangan, serta efek iklim atau biaya produksi yang meningkat.
Ini menambah beban rumah tangga, apalagi Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) juga naik 0,28 persen, terutama dari sektor makanan, minuman, dan tembakau.
Di sisi lain, meski komponen inti inflasi masih relatif stabil, tren naiknya harga pokok perlu diantisipasi agar tak menjalar ke sektor lain dan menyebabkan inflasi ekspektasi yang lebih tinggi di paruh kedua 2025.
Oleh karena itu, Pemerintah dan pelaku pasar perlu menjaga pasokan pangan, menstabilkan distribusi barang kebutuhan pokok, serta memberi perhatian lebih terhadap wilayah dengan tekanan inflasi tinggi.