Beranda News Kolaborasi Riset Internasional, Ungkap Tantangan Pengendalian TB-Diabetes Melitus di Indonesia
KabarMakassar.com — Dr. Matthew Kelly yang merupakan seorang peneliti professional National Centre for Epidemiology and Population Health (NCEPH) dari Australian National University (ANU) membahas “Unraveling The Spatial Patterns of Tuberculosis and Diabetes Mellitus in Indonesia” atau pemetaan spasial tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus di Indonesia pada Senin (11/11).
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Prof Nur Nasry Noor K225 FKM Universitas Hasanuddin ini merupakan tindak lanjut untuk mendiseminasikan hasil Riset Kolaborasi antara Departemen Epidemiologi FKM Unhas dengan National Centre for Epidemiology and Population Health (NCEPH) Australian National University melalui program Future Research Talent (FRT) Australian National University.
Dalam pemaparan materi disampaikan bahwa saat ini Indonesia menghadapi transisi epidemiologi yang membawa tantangan baru dalam pengendalian Tuberkulosis (TB).
Situasi ini menciptakan beban ganda penyakit (double burden of disease) akibat prevalensi tinggi pada penyakit menular dan penyakit tidak menular (PTM) yang berkembang pesat.
Kondisi ini juga menjadi tantangan dalam menentukan prioritas kesehatan, pendanaan, serta kebutuhan pelatihan tenaga kesehatan yang efektif.
Selain itu, prevalensi penyakit infeksi yang sering terjadi seperti TB memperberat risiko Penyakit Tidak Menular seperti Diabetes Mellitus (DM), begitu pula sebaliknya keberadaan DM berpotensi meningkatkan beban penyakit TB para pasiennya.
Tak hanya itu, adanya komorbiditas penyakit seperti Diabetes mellitus dan Tuberkulosis semakin mempersulit dalam upaya pengendalian TB di Indonesia.
“The comorbidity of Diabetes Mellitus and Tuberculosis (TB) presents a new challenge in TB control in Indonesia. Data from Jakarta between 2017 and 2019 show that around 20% of TB patients screened were found to have diabetes, with a prevalence of diabetes among TB patients reaching 19%. Conversely, among 809 diabetes patients screened for TB, about 12% were found to have had TB. Modelling estimates suggest that up to 20% of TB cases in Indonesia may be associated with diabetes, highlighting the importance of addressing this comorbidity to improve the effectiveness of TB control”, ungkapnya
Sehingga kata di manajemen komorbiditas Tuberkulosis (TB) dan Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia memerlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi kesenjangan penelitian yang ada.
Salah satu langkah penting adalah melakukan studi kohort yang berfokus pada lokasi atau area tertentu khususnya yang melibatkan interaksi dengan resistensi obat pada pasien dengan komorbiditas TB-DM.
Penelitian ini akan memberikan wawasan lebih dalam mengenai tantangan dalam pengobatan pasien dengan kondisi penyakit ganda ini.
Selain itu, adanya pemahaman yang lebih baik tentang seberapa besar dampak dan penyebaran komorbiditas. menjadi sangat penting, terutama saat melakukan diagnosis pada Diabetes Mellitus.
Hal ini akan membantu dalam merancang kebijakan kesehatan yang lebih tepat sasaran untuk pengelolaan kedua penyakit secara bersamaan.
Penelitian operasional dan implementasi juga diperlukan untuk mengeksplorasi berbagai model implementasi dalam melakukan skrining dua arah, yaitu skrining untuk TB pada pasien DM dan sebaliknya.
Hal ini akan memastikan bahwa deteksi dini kedua penyakit ini dapat dilakukan dengan lebih efektif.
Selanjutnya, menggunakan penelitian dengan mix method untuk mengevaluasi program skrining yang ada saat ini dan untuk lebih memahami tantangan serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai efektivitas program yang sedang berjalan.
Topik “Unraveling The Spatial Patterns of Tuberculosis and Diabetes Mellitus in Indonesia” sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ke-3 kehidupan sehat dan sejahtera atau good health and well-being yang berfokus untuk memastikan kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan di segala kalangan usia.
Dalam konteks ini, pemetaan spasial penyakit Tuberkulosis (TB) dan Diabetes Melitus (DM) dapat memberikan wawasan yang penting untuk memahami distribusi geospasial kedua penyakit ini di Indonesia, yang pada gilirannya dapat mengarah pada kebijakan kesehatan yang lebih efisien dan tepat sasaran.
Target dan indikator SDGs ke-3 yang relevan dengan topik ini adalah target 3.3.2 mengakhiri epidemi tuberkulosis sehingga dengan pemetaan spasial dapat mengidentifikasi daerah-daerah dengan prevalensi tinggi penyakit TB sekaligus DM, yang memungkinkan pengendalian yang lebih terfokus dan spesifik pada wilayah yang paling membutuhkan intervensi.
Data spasial ini juga akan berguna dalam merencanakan strategi pengobatan dan pencegahan yang lebih efektif, serta mempercepat pencapaian pengurangan prevalensi TB dan DM di Indonesia.
Adapun untuk Target 3.4 dalam SDG’s ke-3 mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan.
Meskipun diabetes adalah penyakit tidak menular, pemetaan spasial dapat membantu menggambarkan hubungan antara lingkungan, pola makan, dan prevalensi diabetes di suatu daerah.
Dengan informasi ini, intervensi yang lebih terarah dapat dilaksanakan untuk menurunkan mortalitas prematur akibat diabetes melalui pencegahan dan pengelolaan yang lebih baik.
Dengan demikian, pemahaman dan penerapan metode epidemiologi spasial dalam penelitian tentang TB dan diabetes tidak hanya akan memperluas wawasan peserta kuliah, tetapi juga dapat mendukung pencapaian berbagai indikator SDG 3, khususnya dalam pengendalian penyakit menular dan tidak menular, serta peningkatan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.