KabarMakassar.com — Rupiah menunjukkan ketahanan yang luar biasa sepanjang pekan ini meskipun menghadapi berbagai dinamika global. Menutup perdagangan pekan ini pada Jumat (8/11), rupiah berhasil menguat 0,43% dalam sehari, ditutup di level Rp 15.672 per dolar AS di pasar spot. Sepanjang pekan, rupiah mengalami penguatan total 0,51%, memberikan sinyal positif bagi pasar keuangan Indonesia.
Tak hanya itu, data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dari Bank Indonesia juga mencatat penguatan rupiah sebesar 0,60% dalam sehari ke Rp 15.671 per dolar AS. Secara mingguan, rupiah naik 0,50% berdasarkan kurs JISDOR. Peningkatan nilai tukar ini menunjukkan respon positif pasar terhadap berbagai kebijakan ekonomi global.
Menurut Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, penguatan rupiah ini tidak terlepas dari kebijakan terbaru Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. “Afirmasi independensi The Fed oleh Jerome Powell turut mendorong sentimen risk-on di pasar global, yang pada gilirannya memperkuat rupiah,” ungkap Josua.
Meski demikian, Josua mencatat bahwa ruang penguatan rupiah masih terbatas. Meskipun ditutup di zona hijau, pergerakan rupiah cenderung terpengaruh oleh berbagai faktor eksternal, termasuk hasil Pemilu AS yang kembali memenangkan Donald Trump sebagai Presiden. Pemilu ini membawa ketidakpastian baru bagi pasar global, terutama terkait kebijakan perdagangan proteksionis yang dijanjikan Trump.
Trump Terpilih Kembali, Pasar Menunggu Dampak Kebijakan Proteksionis
Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, menjelaskan bahwa kemenangan Trump memicu kekhawatiran di pasar terkait kebijakan perdagangan yang lebih agresif.
“Ada kekhawatiran bahwa Trump akan melanjutkan agenda perdagangan proteksionisnya, yang dapat memengaruhi arus modal global dan memicu tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah,” kata Ibrahim.
Namun, rupiah berhasil rebound setelah The Fed memangkas suku bunga seperti yang diperkirakan. Lebih lanjut, Powell menegaskan bahwa ekonomi AS tetap kuat, dan The Fed siap melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut jika diperlukan. Sentimen ini membantu rupiah untuk kembali menguat setelah sempat melemah di awal pekan.
Fokus pasar kini beralih ke pertemuan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) di China, yang diperkirakan akan menghasilkan rencana stimulus fiskal baru.
Ibrahim memperkirakan bahwa Beijing dapat menggelontorkan hingga 10 triliun yuan (sekitar US$ 1,6 triliun) untuk menstimulasi ekonomi, yang dapat mempengaruhi arus perdagangan dan nilai tukar global.
“Jika Trump melanjutkan kebijakan tarif yang lebih tinggi terhadap China, kita mungkin akan melihat lebih banyak stimulus dari Beijing untuk menopang ekonominya. Ini bisa memberikan dampak ganda pada pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia,” jelas Ibrahim.
Tantangan ke Depan: Perang Dagang dan Kebijakan Moneter
Kendati The Fed telah memangkas suku bunga, Ibrahim menekankan bahwa suku bunga AS masih relatif tinggi dibandingkan dengan standar global.
“Bank Indonesia dan pemerintah perlu waspada terhadap kemungkinan dampak dari kebijakan ekonomi Trump yang bisa memicu ketidakpastian baru di pasar,” tambahnya.
Sentimen investor pekan depan juga akan terpengaruh oleh rilis data inflasi AS. Josua Pardede memproyeksikan bahwa data ini akan menjadi indikator penting bagi pasar terkait prospek pemotongan suku bunga lebih lanjut pada tahun 2025.
“Jika data inflasi AS menunjukkan angka yang lebih rendah dari ekspektasi, ada peluang The Fed akan lebih dovish, yang bisa mendukung penguatan rupiah lebih lanjut,” ujarnya.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Josua memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp 15.600 hingga Rp 15.750 per dolar AS pada perdagangan Senin (11/11).
Sementara itu, Ibrahim lebih optimistis, memperkirakan rupiah bisa ditutup menguat di level Rp 15.600 hingga Rp 15.690 per dolar AS pada awal pekan depan.
Prospek Rupiah: Antara Optimisme dan Tantangan Global
Meski pekan ini rupiah berhasil menunjukkan performa yang cukup kuat, tantangan ke depan masih cukup besar. Ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis AS, dinamika kebijakan moneter The Fed, serta perkembangan ekonomi China akan menjadi faktor penentu arah pergerakan rupiah selanjutnya.
Namun, dengan fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kuat serta cadangan devisa yang memadai, rupiah masih berpotensi mempertahankan stabilitasnya di tengah gejolak pasar global. Dukungan dari investor asing yang tetap menunjukkan minat terhadap aset pasar berkembang juga bisa menjadi penopang bagi stabilitas rupiah di masa mendatang.
Pelaku pasar diharapkan terus mencermati berbagai perkembangan global, termasuk kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pemerintahan Trump yang baru, serta langkah-langkah stimulus dari negara-negara ekonomi besar seperti China. Kombinasi dari faktor eksternal dan kebijakan domestik akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun 2024.