KabarMakassar.com — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah bersiap mengambil alih tanggung jawab pengawasan aset keuangan digital, termasuk aset kripto, dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Langkah ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK, Hasan Fawzi, menjelaskan bahwa pihaknya sedang menjalani serangkaian koordinasi dengan berbagai lembaga terkait untuk memperlancar proses transisi ini.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum).
“OJK melakukan sinergi dengan sejumlah pihak, termasuk Jampidum, melalui penandatanganan kerja sama terkait penanganan barang bukti berupa aset kripto,” ujar Hasan dalam konferensi pers RDK Bulanan (RDKB) Oktober 2024 baru-baru ini.
Persiapan Aturan Baru untuk Pengawasan Aset Kripto
Di samping memperkuat koordinasi antar lembaga, OJK juga tengah menyusun regulasi baru yang akan menjadi landasan hukum pengawasan dan perdagangan aset keuangan digital. Hasan mengungkapkan bahwa rancangan Peraturan OJK (POJK) terkait penyelenggaraan dan perdagangan aset digital, termasuk kripto, sedang digodok.
“Kami sedang merancang POJK terkait mekanisme pelaporan dan pengawasan perdagangan aset keuangan digital, yang meliputi aset kripto,” tambahnya.
Transaksi Kripto Melambat, Namun Investasi Terus Bertumbuh
Data OJK menunjukkan adanya perlambatan transaksi aset kripto pada bulan-bulan terakhir. Nilai transaksi tercatat turun dari Rp48,92 triliun pada Agustus 2024 menjadi Rp33,67 triliun pada September 2024. Namun, jumlah investor kripto justru meningkat dari 20,9 juta di Agustus menjadi 21,27 juta pada akhir September.
Meskipun ada penurunan transaksi bulanan, akumulasi nilai transaksi kripto sepanjang tahun 2024 mencapai Rp426,69 triliun, melonjak sebesar 351,97 persen secara year on year (yoy).
“Ini menunjukkan minat yang terus tumbuh dari masyarakat terhadap aset kripto, meskipun terjadi fluktuasi transaksi,” ungkap Hasan.
Integrasi Kripto dalam Ekosistem Keuangan Digital
Dengan dialihkannya pengawasan dari Bappebti ke OJK, diharapkan kripto dapat bertransformasi dari sekadar instrumen trading menjadi bagian dari ekosistem keuangan digital yang lebih luas. Hal ini termasuk rencana pembentukan Manager Investasi Kripto untuk mengelola aset kripto sebagai instrumen investasi yang lebih terstruktur.
Saat ini, kripto berada di bawah pengawasan Bappebti dan lebih berfokus pada trading. Namun, setelah pengalihan ke OJK, kripto akan dikembangkan sebagai bagian dari aset keuangan digital yang lebih komprehensif.
Langkah ini diharapkan dapat memperkuat regulasi sekaligus memberikan perlindungan lebih baik bagi investor, seiring dengan terus bertumbuhnya pasar aset digital di Indonesia.
Secara nasional, Pajak atas transaksi kripto menyumbang Rp942,88 miliar hingga Oktober 2024. Penerimaan ini terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar Rp441,57 miliar dari transaksi penjualan aset kripto di exchanger dan PPN Dalam Negeri sebesar Rp501,31 miliar dari pembelian aset kripto.
Pada 2022, pajak kripto menyumbang Rp246,45 miliar, di 2023 sebesar Rp220,83 miliar, dan di 2024 sebesar Rp475,6 miliar.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp26,75 triliun hingga akhir Juli kemarin. Jumlah ini berasal dari berbagai sumber, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak kripto, pajak fintech (P2P lending), dan pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).
PPN PMSE menjadi penyumbang terbesar dengan total penerimaan sebesar Rp21,47 triliun. Pemerintah telah menunjuk 174 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, termasuk PT Final Impian Niaga dan Niantic International Ltd yang ditunjuk pada Juli 2024. Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 163 di antaranya telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran PPN.
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, setoran ini terdiri dari Rp731,4 miliar pada 2020, Rp3,90 triliun pada 2021, Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, dan Rp4,57 triliun pada 2024.
“Penerimaan pajak dari transaksi kripto juga signifikan, mencapai Rp838,56 miliar hingga Juli 2024” bebernya, Selasa (13/08).
Ia menjelaskan, penerimaan ini terdiri dari Rp394,19 miliar PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp444,37 miliar PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger. Tahun sebelumnya, penerimaan pajak kripto tercatat Rp246,45 miliar pada 2022 dan Rp220,83 miliar pada 2023.
Sementara itu, pajak dari sektor fintech (P2P lending) menyumbang Rp2,27 triliun hingga Juli 2024. Rinciannya meliputi Rp446,39 miliar pada 2022, Rp1,11 triliun pada 2023, dan Rp712,53 miliar pada 2024.
“Pajak fintech ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp747,93 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp281,28 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,24 triliun,” lanjutnya
Penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital lainnya melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp2,18 triliun hingga Juli 2024. Angka ini berasal dari Rp402,38 miliar pada 2022, Rp1,12 triliun pada 2023, dan Rp656,37 miliar pada 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp149,7 miliar dan PPN sebesar Rp2,03 triliun.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia,” ujar Dwi Astuti.
Ia menambahkan bahwa pemerintah akan terus mengeksplorasi potensi penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital lainnya, seperti pajak kripto, pajak fintech, dan pajak SIPP, untuk meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji penyesuaian pajak baru untuk transaksi kripto seiring dengan rencana peralihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang dijadwalkan mulai awal 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, mengungkapkan bahwa untuk merealisasikan rencana ini, OJK akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Saat ini, pajak untuk mata uang kripto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 68/PMK.03/2022 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 dengan tarif 0,1 persen dari nilai aset kripto, masuk dalam tarif PPh Pasal 22 Final.
Hasan menjelaskan bahwa setelah pengawasan resmi beralih ke OJK, kemungkinan besar akan ada perubahan dalam pungutan pajak karena kripto akan dikategorikan sebagai aset keuangan digital.
“Nantinya akan ada perubahan, misalnya dalam pengelompokan definisi aset. Sebelumnya, payung hukumnya adalah peraturan tentang perdagangan berjangka komoditi. Ke depan, kami akan mengakui kripto sebagai aset keuangan digital,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa OJK akan membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan mengenai pajak kripto.
Selain pembahasan tentang pajak, OJK juga berencana mengatur minimum permodalan untuk aset kripto, meskipun akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal, akan digunakan besaran yang telah ditetapkan oleh Bappebti, yakni minimal Rp100 miliar.
“Jika melihat apa yang sudah diterapkan saat ini, modal yang ditentukan oleh Bappebti sebesar Rp100 miliar di awal sudah cukup memadai,” pungkasnya.