
KabarMakassar.com — Pemutusan kontrak kerja terhadap 400 tenaga kontrak Perumda Air Minum (PDAM) Kota Makassar resmi dilakukan pada Mei 2025. Kebijakan ini mengejutkan banyak pihak dan langsung berdampak terhadap ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada perusahaan pelat merah itu.
Meski berat, langkah tersebut disebut sebagai bagian dari proses penataan internal dan efisiensi organisasi. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran soal meningkatnya angka pengangguran baru dan potensi praktik rekrutmen tidak sehat di kemudian hari.
Anggota Komisi B DPRD Kota Makassar, Umiyati, angkat bicara terkait gelombang pemutusan kontrak ini. Ia mengakui bahwa keputusan itu berat, namun tetap masuk akal dalam konteks pekerjaan non-ASN yang memang tidak memiliki jaminan permanensi.
“400 pegawai PDAM yang tidak diperpanjang kontraknya, itu memang sangat disayangkan. Tapi kita harus pahami bahwa ini adalah bagian dari risiko pekerjaan kontrak,” kata Umiyati, Jumat (30/5).
Menurutnya, pergantian kepemimpinan di tubuh PDAM atau perubahan manajemen bisa membawa konsekuensi kebijakan, termasuk dalam hal perampingan pegawai.
“Kalau ada pemimpin baru, pasti ada evaluasi. Kalau PDAM mengeluarkan kebijakan tidak memperpanjang, tentu ada pertimbangan di baliknya,” ujarnya.
Namun ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak menjadi ajang ‘bersih-bersih’ personal. Umiyati berharap ke depan jika PDAM kembali membuka rekrutmen, maka yang diprioritaskan adalah pegawai lama yang sudah punya pengalaman kerja, bukan orang-orang yang punya kedekatan dengan direksi atau petinggi perusahaan.
“Kalau nanti keuangan PDAM sudah membaik dan butuh tenaga tambahan, ya sebaiknya panggil kembali mereka yang sudah tahu pekerjaan sebelumnya. Jangan sampai malah orang baru dari lingkaran direksi yang masuk. Itu tidak sehat, keluarganya atau apa gitu,” tegasnya.
Umiyati pun menekankan perlunya tanggung jawab sosial dari manajemen PDAM dan Pemkot Makassar terhadap para mantan pegawai yang terdampak.
“400 orang ini bukan hanya angka. Itu berarti 400 kepala keluarga yang kehilangan pendapatan. Ini bukan hal kecil. Maka perlu ada perhatian,” tutupnya.
Di sisi lain, Ketua Pansus LKPJ DPRD Makassar, Hartono, memberikan penjelasan lebih teknis soal dasar kebijakan pemangkasan pegawai ini. Menurutnya, sebagian besar tenaga kontrak memang habis masa kerja pada Mei 2025. Ada pula yang dievaluasi karena kinerja dinilai kurang optimal.
Hartono menegaskan bahwa penataan pegawai PDAM Makassar dilakukan untuk mendorong efisiensi dan penyehatan perusahaan, mengacu pada rasio ideal pelayanan dalam regulasi Kementerian Dalam Negeri.
“Idealnya lima karyawan untuk melayani 1.000 pelanggan. Saat ini rasio kita terlalu besar. Maka perlu dilakukan rasionalisasi pegawai agar beban operasional tidak membengkak dan perusahaan tetap sehat,” jelas Hartono yang juga Anggota Komisi B.
Menurut dia, jika langkah ini dilakukan tepat, PDAM justru bisa meningkatkan dividen yang disetorkan ke kas daerah. Sebagai ilustrasi, dengan 1.500 pegawai, PDAM Makassar mampu menyumbang dividen sebesar Rp11 miliar pada 2024. Maka, dengan pengurangan sekitar 200-an pegawai, ada peluang penghematan anggaran signifikan.
“Tentu kami berharap efisiensi ini berdampak langsung pada dividen yang lebih besar bagi Pemkot. Tapi jangan sampai proses ini dilakukan tergesa-gesa dan tanpa perhitungan matang,” ujarnya.
Namun, Hartono juga mengkritik cara PDAM menyampaikan kebijakan ini kepada publik. Menurutnya, narasi yang dibangun cenderung menimbulkan kegaduhan dan kesan sewenang-wenang.
“Ada narasi lama yang menyebut rekrutmen dulu itu ugal-ugalan, dan sekarang juga dikatakan seperti itu. Ini bisa menimbulkan spekulasi liar, apalagi ini masih di awal masa pemerintahan. Jangan sampai merembes ke politik,” tegasnya.
Ia mengingatkan agar seluruh BUMD, termasuk PDAM, belajar menyusun strategi komunikasi publik yang lebih bijak saat menghadapi isu sensitif seperti pemutusan kerja, apalagi menyangkut ratusan orang sekaligus.
Kebijakan ini, meski dibungkus dalam narasi efisiensi, tetap menyimpan potensi dampak sosial yang besar, terutama di tengah keterbatasan lapangan kerja dan tekanan ekonomi masyarakat perkotaan.
Hartono juga mewanti-wanti agar pengurangan tenaga tidak sampai menyebabkan kelumpuhan pelayanan di lapangan. Menurutnya, penataan harus dilakukan bertahap, dengan skema adaptif agar pelayanan ke pelanggan tetap prima.
“Jangan sampai ingin efisiensi, tapi pelayanan air ke masyarakat malah terganggu. Itu kontraproduktif,” tandasnya.