
KabarMakassar.com – Dunia kerja di Indonesia tengah bergerak menuju arah yang lebih inklusif dan berkeadilan. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.
Langkah ini mendapat sambutan positif dari kalangan legislatif. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), H. Alifudin, menyebut surat edaran tersebut sebagai angin segar bagi jutaan pencari kerja yang selama ini menghadapi hambatan diskriminatif dalam proses perekrutan.
“Ini adalah langkah progresif untuk mewujudkan iklim ketenagakerjaan yang lebih adil, inklusif, dan beradab. Sudah terlalu lama diskriminasi berbasis usia, jenis kelamin, disabilitas, hingga status perkawinan menjadi tembok penghalang bagi banyak orang,” ujar Alifudin, Senin (2/6).
Selama ini, banyak pencari kerja yang mengalami penolakan bukan karena kurangnya kompetensi, melainkan semata-mata karena tidak memenuhi kriteria non-substantif: terlalu tua, belum menikah, penyandang disabilitas, atau bahkan karena jenis kelamin.
SE Menaker itu secara eksplisit meminta perusahaan untuk menghapus praktik-praktik diskriminatif dalam iklan lowongan kerja, proses wawancara, hingga keputusan akhir perekrutan. Namun, menurut Alifudin, aturan ini belum cukup kuat secara hukum untuk menimbulkan efek jera.
“Surat edaran bersifat imbauan administratif. Tanpa sanksi dan mekanisme pengawasan, dikhawatirkan ia hanya menjadi seruan moral. Kita butuh dasar hukum yang lebih kuat, baik berupa Peraturan Menteri maupun revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tegas politisi PKS itu.
Alifudin menilai, jika ingin serius menghapus diskriminasi dalam proses rekrutmen, maka harus ada sistem pengawasan yang aktif, termasuk pelibatan pengawas ketenagakerjaan di lapangan. Ia juga mendorong agar pemerintah membuka kanal pengaduan publik yang mudah diakses oleh korban diskriminasi.
“Masyarakat harus tahu ke mana mereka bisa melapor jika menjadi korban praktik tidak adil ini. Tanpa itu, kesadaran hukum publik tidak akan tumbuh. Jangan sampai pelanggaran dibiarkan hanya karena tidak ada jalur pelaporan yang jelas,” lanjutnya.
Ia menambahkan, pelaporan harus disertai perlindungan saksi dan pelapor, agar tidak ada ketakutan dari pencari kerja untuk bersuara. Sementara di sisi pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan perlu menyusun indikator konkret untuk mengevaluasi kepatuhan perusahaan terhadap SE tersebut.
Lebih dari sekadar imbauan administratif, Alifudin menekankan bahwa larangan diskriminasi dalam dunia kerja adalah bagian dari amanat konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
“Dunia kerja Indonesia harus menjadi tempat yang produktif dan manusiawi. Tidak boleh ada lagi lowongan kerja yang menolak pelamar hanya karena dia berumur 40 tahun, perempuan belum menikah, atau memiliki keterbatasan fisik,” tegasnya.
Menurutnya, dunia usaha pun akan diuntungkan dalam jangka panjang jika mengedepankan prinsip inklusivitas. Beragam studi telah menunjukkan bahwa perusahaan dengan keberagaman tinggi memiliki produktivitas dan daya inovasi yang lebih baik.
Surat Edaran Menaker memang patut diapresiasi sebagai langkah awal menuju dunia kerja yang setara. Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa semangat yang tertuang dalam surat edaran tersebut benar-benar menjadi praktik nyata di lapangan.
Tanpa dukungan regulasi turunan, pengawasan aktif, serta sanksi administratif atau pidana, kebijakan ini berisiko mandek sebagai dokumen formal semata.
“Kita tidak sedang bicara soal kebaikan hati perusahaan, tapi soal hak asasi setiap warga negara. Dan hak itu harus dilindungi, bukan dimohonkan,” tutup Alifudin.