
KabarMakassar.com – Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah akhirnya mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan edaran penundaan kebijakan tersebut.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Jufri Rahman, menilai keputusan Pemerintah Kabupaten Bone menunda kenaikan PBB-P2 sejalan dengan arahan pusat sekaligus menjadi solusi untuk meredam keresahan publik.
“Sudah ada edaran Mendagri. Kalau (kenaikan) pajak PBB menimbulkan kegaduhan, hentikan. Itu arahnya jelas, supaya kondusif,” tegas Jufri, Rabu (20/8).
Menurut Jufri, fenomena lonjakan PBB bukan hanya terjadi di Bone. Beberapa daerah lain mengalami kondisi serupa, bahkan lebih ekstrem. Di Kabupaten Jombang, tarif naik hingga 400–600 persen, sementara di Cirebon ada yang melonjak sampai 1.000 persen.
Lonjakan itu terjadi karena tarif lama tidak pernah disesuaikan bertahun-tahun, sehingga ketika kebijakan diberlakukan sekaligus sesuai kondisi terkini, kenaikan terasa sangat tajam.
“Kalau di kota ada kenaikan 300 sampai 400 persen, mungkin masih bisa masuk akal karena dipengaruhi harga tanah. Tapi kalau melonjak drastis sekaligus, pasti masyarakat terkejut,” ujarnya.
Jufri menekankan bahwa hakikat otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan menambah beban. Ia mengingatkan kepala daerah agar tidak menjadikan kenaikan pajak sebagai solusi instan untuk menutup defisit fiskal.
“Kalau ada sesuatu atas nama otonomi lalu memberi beban pada rakyat, itu pengingkaran terhadap hakikat otonomi. Otonomi diberikan supaya rakyat sejahtera. Kalau pajak ditambah seenaknya, justru kesejahteraan mereka menurun,” tegasnya.
Ia juga menyinggung kecenderungan sebagian pemerintah daerah yang mengaitkan pemangkasan transfer pusat dengan upaya menaikkan pajak. Menurutnya, kreativitas fiskal seharusnya tidak hanya diukur dari seberapa besar pajak yang bisa dipungut.
“Para pimpinan daerah harus lebih jeli dan cerdas menggali sumber-sumber pendapatan baru. Jangan hanya mengandalkan pungutan yang membebani rakyat,” katanya.
Jufri mengakui bahwa keterbatasan dana transfer dari pusat memang menjadi tantangan besar. Sejak 2023, alokasi transfer ke daerah dipangkas dari Rp900 triliun menjadi Rp600 triliun karena sebagian ditahan Kementerian Keuangan. Kondisi itu memengaruhi kemampuan fiskal daerah, terutama yang sangat bergantung pada dana pusat.
“Daerah dengan kapasitas fiskal kuat seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, atau Aceh, mungkin tidak terlalu terganggu. Tapi untuk kabupaten/kota di Sulsel, apalagi yang fiskalnya lemah, dampaknya terasa besar,” jelas Jufri.
Ia menyebut Sulsel masih termasuk kategori daerah dengan kapasitas fiskal cukup, meski tidak sekuat provinsi kaya sumber daya alam. Namun, kabupaten/kota dengan ketergantungan tinggi harus berhati-hati dalam mencari solusi.
“Prinsipnya, otonomi jangan dijadikan alasan membebani rakyat. Tugas pemerintah adalah memastikan pelayanan publik tetap berjalan dengan baik, tanpa harus mengorbankan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.