
KabarMakassar.com — Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Fatmawati Rusdi menyampaikan bahwa capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI merupakan hasil kolaborasi erat antara pihak eksekutif, legislatif, dan auditor negara.
Ia juga mengingatkan bahwa WTP bukan sekadar simbol, namun wujud peningkatan komitmen tata kelola keuangan dan pelayanan publik.
Hal itu disampaikan usai menghadiri penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dilakukan di ruang paripurna DPRD Sulsel, Rabu (28/05), dan melibatkan jajaran pemerintah daerah, DPRD, serta perwakilan BPK.
Dengan capaian ini, Pemprov Sulsel telah empat kali berturut-turut memperoleh opini WTP, yakni sejak tahun anggaran 2021 hingga 2024.
“Alhamdulillah, kita sudah empat kali berturut-turut meraih opini WTP: 2021, 2022, 2023, dan kini 2024. Tapi itu artinya beban kita juga semakin besar untuk menjaga kepercayaan publik. Jangan sampai WTP hanya jadi rutinitas administratif tanpa dampak di lapangan,” ujar Wakil Gubernur Sulsel Fatmawati, dalam sambutan saat menghadiri penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dilakukan di ruang paripurna DPRD Sulsel, Rabu (28/05).
Namun, bagi Wakil Gubernur Sulsel Fatmawati Rusdi, capaian ini bukan alasan untuk berpuas diri. Ia menegaskan bahwa opini WTP harus menjadi momentum untuk mendorong peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan, bukan sekadar capaian administratif semata.
“WTP ini bukan hanya soal prestise, tapi harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Kita ingin raihan ini mendorong perencanaan dan penganggaran yang lebih berkualitas serta pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang efisien, efektif, dan transparan,” ujar Fatmawati.
Fatmawati juga menekankan pentingnya kepatuhan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) terhadap peraturan perundang-undangan.
Ia menyebut bahwa BPK masih menemukan beberapa persoalan dalam pengelolaan keuangan daerah yang perlu segera ditindaklanjuti dengan serius.
“Masih ada temuan dan rekomendasi dari BPK. Maka saya instruksikan kepada seluruh pimpinan perangkat daerah di jajaran Pemprov Sulsel agar menindaklanjuti hasil pemeriksaan ini sesegera mungkin,” tegasnya.
Mengacu pada ketentuan, Fatmawati mengingatkan bahwa Pemprov wajib memberikan klarifikasi atau laporan tindak lanjut terhadap rekomendasi BPK paling lambat 60 hari setelah Laporan Hasil Pemeriksaan diterima.
Ia berharap waktu tersebut tidak hanya dimaknai sebagai tenggat administratif, tapi juga sebagai bentuk komitmen memperbaiki tata kelola pemerintahan secara menyeluruh.
“Tolong jangan tunggu waktu habis. Segera koordinasi, lakukan evaluasi internal, dan laporkan hasilnya. Kita ingin pemerintahan yang bukan hanya taat aturan, tapi juga memberi pelayanan publik yang berkualitas,” ujarnya.
Fatmawati juga menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan di daerah, termasuk DPRD dan instansi vertikal, untuk terus bekerja secara sinergis dan konsisten memperbaiki sistem keuangan daerah.
“Mari kita terus bekerja, memberikan yang terbaik bagi masyarakat Sulsel. Dengan dukungan dan bimbingan dari BPK, saya yakin tata kelola pemerintahan kita akan semakin baik, mengarah pada prinsip efektif, efisien, transparan, dan akuntabel,” kata Fatmawati.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III (Dirjen PKN III) BPK RI, Dede Sukarjo, menyampaikan sejumlah catatan penting yang harus segera menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi.
“Capaian ini kami apresiasi sebagai bentuk konsistensi dan komitmen pemerintah daerah menjaga akuntabilitas. Tapi WTP bukanlah akhir. Masih ada banyak pekerjaan rumah,” ujar Dede.
Salah satu sorotan utama BPK adalah utang belanja dan transfer yang belum diselesaikan oleh Pemprov Sulsel, terutama utang bagi hasil pajak daerah kepada pemerintah kabupaten/kota. Padahal, dana tersebut merupakan hak kabupaten/kota yang diperoleh dari pendapatan pajak daerah yang dikelola provinsi.
“Utang bagi hasil pajak masih belum tuntas. Ini menyebabkan kabupaten/kota tidak dapat segera melaksanakan program pembangunan yang sudah direncanakan,” jelas Dede.
Ia juga menyinggung kondisi kas daerah yang tidak seimbang dengan beban kewajiban. Menurutnya, perbandingan antara kas yang tersedia dan jumlah utang belanja menunjukkan masih lemahnya ruang fiskal Pemprov dalam mengelola APBD secara ideal.
“Ini harus menjadi fokus utama perbaikan. Pengelolaan keuangan yang sehat bukan hanya soal pelaporan, tapi juga soal kemampuan membayar tepat waktu,” tegasnya.