
KabarMakassar.com — Ketegangan politik dan kekhawatiran publik meningkat menjelang pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 25 daerah di Indonesia.
PSU ini merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah sengketa hasil Pemilu 2024.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Senin (05/05), berbagai persoalan krusial diangkat, termasuk kesiapan teknis, kepastian hukum, dan potensi manipulasi proses demokrasi.
Salah satu suara kritis datang dari Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar Taufan Pawe. Ia dengan tegas menyoroti perlunya komitmen serius semua lembaga penyelenggara pemilu dalam menjamin PSU berjalan tanpa cacat prosedural.
Ia menyatakan bahwa PSU bukan hanya proses pengulangan teknis, melainkan ujian integritas sistem demokrasi.
“Kami berharap proses ini tidak hanya formalitas, tapi menjadi refleksi kolektif. PSU terjadi bukan tanpa sebab. Putusan MK menyatakan 25 daerah harus mengulang karena adanya pelanggaran atau kelalaian. Ini alarm serius,” tegas Taufan Pawe dalam rapat tersebut.
Taufan menekankan bahwa peluang terjadinya gugatan ulang terhadap hasil PSU tetap terbuka lebar. Karena itu, menurutnya, semua pihak, baik KPU, Bawaslu, DKPP, maupun Kemendagri, harus memastikan proses berlangsung bersih, transparan, dan akuntabel.
“Kalau berpikir menghindari gugatan itu mustahil, tapi minimalisir potensi sengketa bisa dilakukan dengan persiapan matang dan evaluasi menyeluruh. Kita harus belajar dari kegagalan sebelumnya,” ujarnya.
Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Selatan itu juga menyoroti pemecatan empat komisioner KPU oleh DKPP akibat ketidaksesuaian administrasi dalam pencalonan peserta pemilu.
Menurutnya, kesalahan fatal oleh segelintir orang tidak seharusnya berdampak luas hingga merugikan negara dan menciptakan ketidakpastian politik di daerah.
“Bagaimana mungkin empat orang bisa membuat seluruh proses pemilu diulang? Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi cermin lemahnya manajemen seleksi dan supervisi di tubuh KPU,” kecam Taufan.
Ia menilai, pengulangan pemungutan suara jelas membawa konsekuensi besar terhadap anggaran negara, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program prioritas lain.
Tak hanya itu, kondisi ini memperpanjang ketegangan politik lokal dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
“PSU itu tidak gratis. Biayanya besar, bebannya ditanggung negara, dan rakyat yang paling dirugikan,” lanjutnya.
Taufan juga mewanti-wanti potensi manipulasi oleh pihak-pihak yang sengaja menciptakan celah hukum untuk mendorong PSU demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Ia mendesak perlunya penguatan regulasi dan pengawasan internal lembaga penyelenggara pemilu agar praktik semacam ini tidak terulang.
“Kita harus sadari bahwa PSU bisa saja menjadi alat permainan politik. Jika dibiarkan, ini membuka ruang manipulasi dan penyalahgunaan hukum oleh mereka yang ingin membajak demokrasi untuk kepentingan sendiri,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong adanya revisi regulasi yang memperjelas batasan, sanksi, dan prosedur validasi calon peserta serta penguatan sistem pemilu secara nasional.
“Kita butuh kepastian hukum. Pemilu mendatang harus jauh lebih terukur dan profesional. Kita tidak bisa terus berjudi dengan nasib demokrasi hanya karena kelalaian segelintir oknum,” tutup Taufan Pawe.