Ketimpangan Ekonomi Mengintai, Pengamat Kritik Kebijakan Kenaikan PPN 12 Persen

6 hours ago 3

banner 468x60

KabarMakassar.com — Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% menuai berbagai reaksi khususnya bagi pelaku usaha. Selain berpotensi menggerus daya beli, kebijakan ini berpotensi semakin melambatkan pertumbuhan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin menilai, kebijakan ini seharusnya ditunda karena sejumlah indikator menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil.

Pemprov Sulsel

Murtiadi menyebutkan bahwa penurunan indeks harga konsumen, deflasi, dan berkurangnya kelompok kelas menengah menjadi sinyal kelemahan ekonomi saat ini. Hal ini seharusnya cukup menjadi pertimbangan pemerintahan baru untuk menunda kenaikan pajak.

“Ketika menaikkan pajak meskipun hanya 1%, dampaknya cukup luas, terutama pada barang konsumsi. Konsumen mungkin tidak langsung merasakan, tetapi distributor di rantai pasokan akan terkena dampak besar,” ujarnya, Kamis (21/11).

Ia menjelaskan, semakin panjang rantai distribusi suatu produk, semakin besar dampak kenaikan PPN terhadap harga akhir. Hal ini akan berdampak signifikan pada perubahan harga, terutama pada industri-industri tertentu seperti otomotif, yang memiliki proses distribusi panjang dari hulu ke hilir.

“Kenaikan ini juga terasa dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya di instansi pemerintahan. Apalagi, setelah PPN, ada lagi PPh 5% yang otomatis membuat harga barang semakin tinggi,” tambahnya.

Murtiadi menekankan, industri otomotif menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh kenaikan PPN ini.

“Industri ini melalui banyak tahapan distribusi, sehingga kenaikan harga hampir pasti terjadi. Selain itu, daya beli masyarakat yang saat ini belum sepenuhnya pulih berpotensi semakin tergerus,” tegas Murtiadi.

Murtiadi mengakui bahwa kenaikan PPN dapat memberikan kontribusi besar pada penerimaan negara, diperkirakan mencapai Rp70-80 triliun. Namun, ia menilai masih ada alternatif lain yang dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat dan pelaku usaha.

Ia berharap pemerintah dapat mengeksplorasi kembali program seperti tax amnesty sebagai alternatif kebijakan yang lebih inklusif. Dengan demikian, penerimaan negara dapat ditingkatkan tanpa menciptakan beban baru bagi masyarakat maupun pelaku usaha.

“Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa program tax amnesty bisa memberikan penerimaan yang signifikan tanpa harus menaikkan PPN. Program ini juga lebih ramah bagi masyarakat dan dunia usaha dibandingkan kebijakan pajak yang langsung menaikkan harga barang,” jelasnya.

Ia juga mengkhawatirkan potensi perlambatan ekonomi jika kenaikan pajak terus dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.

“Kebijakan seperti ini perlu dipertimbangkan matang-matang, karena dampaknya bisa melebar ke berbagai sektor, termasuk konsumsi masyarakat yang menjadi motor utama perekonomian,” tutupnya.

Senada, Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan langkah yang kurang bijaksana. Ia mengungkapkan bahwa pajak, selain berfungsi sebagai sumber pendapatan negara dan daerah, juga memiliki peran penting dalam mengatur distribusi pendapatan masyarakat.

“Jika PPN dinaikkan secara menyeluruh kepada semua transaksi, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Sutardjo.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini serupa dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang biasanya memicu kenaikan harga di berbagai sektor, terutama pada kebutuhan pokok. Produsen yang menanggung beban kenaikan pajak cenderung akan meneruskannya kepada konsumen kecil, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah akan lebih terpukul.

Sutardjo mengusulkan agar kenaikan PPN hanya diberlakukan pada barang-barang mewah, termasuk barang impor. Menurutnya, jika tujuan pemerintah adalah untuk mendorong masyarakat hidup hemat atau menurunkan daya beli, kebijakan ini justru akan salah sasaran.

“Saat ini, masyarakat sedang menghadapi tantangan besar, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan pendapatan, dan daya beli yang melemah,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini hanya akan memberikan dampak minim kepada kelompok berpenghasilan tinggi yang memiliki jet pribadi, aset besar, dan penghasilan pasif yang stabil.

“Kebijakan ini malah membuat ketimpangan semakin besar,” tambahnya.

Menurut Sutardjo, jika tujuan kenaikan PPN adalah untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah seharusnya mempertimbangkan dua cara utama: meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan non-pajak, atau mengurangi pengeluaran negara.

“Efisiensi anggaran, seperti memotong biaya seminar dan perjalanan dinas, juga bisa menjadi solusi yang efektif,” sarannya.

Ia juga mencatat bahwa kenaikan ini tampaknya berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menghadapi jatuh tempo utang pada tahun 2025

‘Kebijakan ini kemungkinan merupakan langkah antisipasi pemerintah untuk menutup defisit APBN, termasuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dan bunganya,” ungkap Sutardjo.

Ia menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang tepat sasaran agar tidak menambah beban masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang menantang seperti saat ini.

Untuk informasi, Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.

Penerapan PPN naik menjadi 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pemerintah menerapkan Kebijakan ini untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBB).

Meski demikian, kenaikan PPN menjadi 12 persen tersebut menjadi polemik dan perbincangan di tengah masyarakat.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak atas setiap pertambahan nilai konsumsi barang dan jasa.

Pertambahan nilai suatu barang atau jasa berasal dari akumulasi biaya dan laba selama proses produksi hingga distribusi, meliputi modal, upah, sewa telepon, listrik, serta pengeluaran lainnya.

PPN termasuk jenis pajak tidak langsung. Artinya, konsumen sebagai penanggung pajak tidak langsung menyetorkan pajak yang dibayar kepada negara, melainkan pedagang atau pengusaha lah yang melapor.

Pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. Sementara yang berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah pedagang/penjual.

Secara umum, tujuan PPN sama seperti pajak lainnya, yakni untuk menambah pemasukan negara dan membiayai pengeluaran program-program yang diterapkan pemerintah.

Barang yang tidak dikenai PPN 12 persen umumnya adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak alias sembako. Jenis barang tersebut antara lain beras, kedelai, jagung, sagu, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Dalam UU HPP Pasal 4A dan 16B juga disebutkan, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan makanan yang disediakan oleh usaha jasa boga (katering) juga tidak dikenai PPN. PPN juga tidak dikenakan untuk transaksi uang, emas batangan, dan surat berharga, seperti saham dan obligasi, di pasar keuangan.

Barang yang dikenai PPN 12 persen adalah barang-barang selain kategori di atas, termasuk beberapa kebutuhan keseharian lainnya. Misalnya belanja pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan mandi dan kebersihan rumah, obat-obatan bebas, hingga kosmetik.

Adapun jenis jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen adalah pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pendidikan, kesenian dan hiburan, angkutan umum, keagamaan, keuangan, asuransi, keagamaan, penyiaran (tanpa iklan), serta jasa tenaga kerja.

Ada sejumlah alasan mengapa pemerintah menaikkan PPN naik menjadi 12 persen, yang pertama adalah untuk mendongkrak pendapatan negara. PPN merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara dan berperan penting untuk mendanai berbagai program pemerintah.

Pemerintah juga menaikkan PPN menjadi 12 persen untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Dengan penerimaan pajak yang meningkat, diharapkan penggunaan utang menjadi berkurang dan stabilitas ekonomi negara terjaga dalam jangka panjang. Kemudian, alasan lain kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah untuk menyesuaikan standar internasional

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news