KabarMakassar.com — Makassar International Writers Festival (MIWF) bakal menggelar Festival literasi tahunan terbesar di Indonesia Timur, yang akan berlangsung di Fort Rotterdam, Makassar, mulai 29 Mei hingga 1 Juni 2025 mendatang.
MIWF 2025 ini mengusung tema Land and Hand, untuk memantik percakapan mendalam dan multidimensi perihal kerentanan ruang hidup masyarakat dan upaya untuk merawat serta mempertahankannya.
“Sebagai sebuah festival yang ingin terlibat sebagai bagian dari upaya mendorong perubahan sosial, MIWF 2025 menjadikan isu perampasan ruang hidup sebagai tema utama. Kami bahkan menyebut Land and Hand bukan sekadar tema, melainkan seruan untuk bersama-sama memikirkan, membicarakan, dan melawan segala bentuk perampasan ruang hidup,” ujar Direktur MIWF, M Aan Mansyur dalam keterangan tertulis, Rabu (28/05).
Aan menerangkan tema ini menjadi landasan diskusi berbagai isu dari skala lokal, nasional, hingga global selama empat hari. Seluruh program dan sesi yang dihadirkan akan berangkat dari gagasan besar tersebut, demi membangun kesadaran tentang pentingnya mempertahankan dan melindungi ruang hidup terutama bagi kelompok rentan.
Festival ini, kata Aan tidak hanya menjadi ajang perayaan sastra, tapi juga platform yang relevan untuk membahas isu-isu yang kian mendesak. Mulai dari feminisme, genosida di Palestina dan berbagai wilayah di dunia, kebebasan berpendapat-berekspresi, hingga krisis ekologi.
Selain itu, Aan mengaku MIWF juga tetap setia pada misi menjadi ruang yang menerapkan inklusivitas agar dapat diakses oleh semua kalangan.
“Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kami ingin memastikan festival ini tetap menjadi ruang yang kritis, aman, dan nyaman untuk mempercakapkan isu-isu penting. Kami berharap festival ini bisa menjadi ruang untuk menghubungkan berbagai pihak–dari penulis, pembaca, aktivis, jurnalis, seniman, hingga publik umum dari berbagai latar belakang,” jelasnya.
Dalam kegiatan MIWF menggunakan prinsip No All-Male Panel yang akan diterapkan, di mana tidak ada sesi yang seluruh pembicara adalah laki-laki selama empat hari penyelenggaraan, itu menjadi salah satu wujud komitmen terhadap kesetaraan gender dan meragamkan perspektif.
Lebih lanjut, kegiatan MIWF juga tetap meneruskan terkait isu lingkungan melalui penerapan low carbon dan zero waste. Langkah ini, kata dia tidak hanya merefleksikan kesadaran festival terhadap krisis ekologi, tapi juga mendorong pengunjung untuk memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungannya.
“Dengan pendekatan yang inklusif, MIWF terus berkomitmen menjadi ruang untuk berbagai suara dan perspektif. Seperti edisi-edisi sebelumnya, pengunjung tidak dipungut biaya masuk untuk menikmati berbagai rangkaian acara yang bertujuan memperkaya wawasan, menginspirasi aksi, dan mendorong dialog lintas disiplin,” ujarnya.
Hadirkan lebih dari 150 pembicara selama 4 hari penyelenggaraan
MIWF 2025 akan menghadirkan ratusan penulis, seniman, aktivis dan pembicara dari berbagai latar belakang, baik nasional maupun internasional.
Mereka akan berbagi cerita dan wawasan dalam diskusi panel, peluncuran buku, lokakarya, serta presentasi karya. Setiap sesi dirancang untuk menggugah kesadaran, sembari merayakan keberagaman perspektif dan pengalaman.
“Tema Land and Hand tidak jauh beranjak dari tema m/othering sebelumnya. Jika m/othering menekankan kerja-kerja perawatan, Land and Hand menegaskan pentingnya kerja-kerja mempertahankan. Keduanya bukan hal yang saling bertentangan. Perawatan adalah bentuk mempertahankan. Begitu pula sebaliknya,” ungkap salah satu kurator MIWF 2025, Mariati Atkah.
“Sebagai permulaan, tim kerja MIWF menghimpun kata-kata kunci yang relevan untuk menerjemahkan tema ini agar dapat diturunkan menjadi program-program yang lebih solid. Dari tanah dan tangan, kata kunci dipetakan dan diperluas sehingga menemukan konsep ruang, pengetahuan, kuasa, akses, keberlanjutan, solidaritas, daya, kolektif, dan lainnya,” lanjutnya.
MIWF edisi tahun ini, kata Mariati akan menghadirkan lebih dari 150 pembicara dari berbagai kota di Indonesia dan sejumlah negara lain. Lebih dari 100 program dan aktivitas menarik juga telah disiapkan untuk dinikmati oleh para pengunjung.
Tak hanya menghadirkan para penulis, festival ini juga menjalin kolaborasi dengan komunitas, penerbit, dan berbagai lembaga menambah semarak helatan selama empat hari ini.
“Lokakarya yang bisa diikuti seperti; “Seni dan Pemulihan” yang membahas praktik kesenian sebagai cara memulihkan diri para penyintas kekerasan, serta “Kritik Sastra” bersama Doni Ahmadi dan Iin Farliani,” sebutnya.
Sejumlah komunitas turut langsung menyajikan program bersama MIWF, seperti 30 Hari Bercerita yang mengajak pengunjung merayakan tradisi bertutur, serta perpustakaan dan ruang komunitas asal Makassar yakni Katakerja.
Ada pula presentasi karya dari kolektif WANUA asal Belanda dan penampil asal Australia yakni Tony Yap. Enam pameran menarik yang mengangkat isu beragam juga digelar selama empat hari penyelenggaraan, antara lain “The Butterfly Effect: Ketika Kupu-Kupu Menuju Kepunahan” yakni Titah AW dan Kurniadi Widodo, serta “Dialog Lensa] Ebb and Flow: What Water Could Remember #1 (2024)” Arif Furqan.
Penulis dan pembicara yang diundang dalam kegiatan MIWF pun memiliki beragam latar belakang menarik. Mereka antara lain Andreas Kurniawan psikiater-penulis, Kurniadi Widodo penulis-fotografer, Cania Citta kreator konten-penulis, Natasha Rizky aktris-penulis, Ian D. Wilson peneliti-pengajar, dan masih banyak lagi.
Adapun penulis dan pembicara dari Indonesia Timur tentu juga turut akan bergabung seperti Ibe S. Palogai penulis fiksi, Aziziah Diah Aprilya fotografer, Faisal Oddang penulis fiksi, Adibah L. Najmy penulis fiksi, Margareth Ratih Fernandez seorang editor, serta Maria Pankratia penulis fiksi.
Turut pula tujuh penulis terpilih program Emerging Writers yang akan mengisi panel khusus untuk menceritakan proses kreatif dan riwayat pengkaryaan masing-masing. Mereka adalah Wahyuddin D. Gafur (Ternate, Maluku Utara), Topilus B. Tebai (Dogiyai, Papua Tengah), Kristal Firdaus (Samarinda, Kalimantan Timur), Nany Diansari Korompot (Kotamobagu, Sulawesi Utara), NF Aspany (Mataram, Nusa Tenggara Barat), Ricky Ulu (Atambua, Nusa Tenggara Timur) serta Alghifahri Jasin (Makassar, Sulawesi Selatan).
Tahun ini MIWF juga bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menghadirkan para pelaksana festival sastra dari seluruh Indonesia. Mereka akan bertemu dan membicarakan penguatan dan pengembangan jaringan kerja sama antar-festival sastra di Indonesia dalam forum Konsorsium Festival dan sejumlah diskusi publik.
Salah satu program yang selalu hadir di MIWF adalah Taman Rasa. Program ini menawarkan pengalaman kuliner unik untuk para pengunjung yakni tanpa penggunaan wadah plastik sekali pakai.
Seluruh limbah makanan akan dikelola secara bertanggung jawab melalui proses pengolahan dan daur ulang sebagai upaya MIWF menggabungkan semangat literasi dengan kesadaran tentang pentingnya edukasi lingkungan.
“Sambil menikmati program-program MIWF yang lain, pengunjung dapat mengeksplorasi ragam kuliner dari 22 booth Sahabat Taman Rasa,” tuturnya.