Pancasila di Tengah Gempuran Hoaks dan Cybercrime: Refleksi Hukum di Era Digital

1 day ago 11
 Refleksi Hukum di Era Digital Munira,S.H.,M.H, Dosen Hukum Universitas Sulawesi Barat (Dok : Ist).

KabarMakassar.com — Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, ideologi yang menjadi fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun di tengah perayaan simbolik itu, kita perlu kembali bertanya: sejauh mana nilai-nilai Pancasila hidup dan menjiwai praktik kehidupan kita, khususnya dalam menghadapi tantangan hukum di era digital?

Dewasa ini, dunia maya telah menjadi medan baru bagi munculnya berbagai bentuk kejahatan, mulai dari penipuan daring, ujaran kebencian, penyebaran hoaks, hingga peretasan data.

Kejahatan siber (cybercrime) dan arus deras informasi palsu (hoaks) bukan hanya mengancam keamanan digital, tetapi juga stabilitas sosial, integritas pemilu, bahkan keselamatan individu. Mirisnya, banyak dari kasus ini tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang adil dan berlandaskan etika.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat penyebaran hoaks tertinggi di Asia Tenggara. Konten-konten disinformasi yang bersifat politis, provokatif, atau menyerang identitas kelompok tertentu menyebar sangat cepat melalui media sosial. Dalam beberapa kasus, hoaks bahkan menelan korban jiwa karena membentuk opini publik yang salah kaprah.

UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang sudah mengatur beberapa bentuk kejahatan digital, seperti dalam Pasal 27 hingga 29. Namun dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap hoaks dan kejahatan digital kerap bias, tebang pilih, atau bahkan dijadikan alat pembungkam kritik. Fenomena overkriminalisasi dan pasal karet menjadi persoalan yang sering dikritisi oleh publik dan akademisi hukum.

Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya slogan, tetapi seharusnya menjadi filter etika dalam proses legislasi dan penegakan hukum. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” menuntut aparat hukum untuk bertindak humanis dan tidak semata represif. Sila keempat menekankan pentingnya musyawarah dan keadilan prosedural dalam memutus perkara.

Sementara sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” menjadi pengingat agar hukum ditegakkan secara adil, tidak berat sebelah, dan berpihak pada kepentingan publik.

Sayangnya, dalam sejumlah kasus, justru nilai-nilai tersebut dilanggar. Publik yang menyampaikan kritik secara etis bisa dijerat hukum, sementara pelaku penyebar hoaks yang berpihak pada kekuasaan seakan-akan luput dari jerat hukum. Ini jelas bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjunjung etika, keadilan, dan keberadaban.

Pancasila harus diaktualisasikan dalam kebijakan hukum digital secara konkret. Edukasi digital yang berlandaskan nilai Pancasila perlu diperkuat, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa yang menjadi pengguna internet aktif.

Selain itu, pendekatan restoratif dapat menjadi alternatif dalam menanggulangi pelanggaran ringan di ruang digital, dengan memprioritaskan edukasi, pemulihan, dan rekonsiliasi ketimbang penghukuman semata.

Penegak hukum juga harus dibekali dengan perspektif etik dan humanis agar tidak terjebak dalam penggunaan hukum yang eksesif. Dalam semangat Pancasila, hukum digital seharusnya berfungsi sebagai pelindung, bukan penindas.

Refleksi Hari Lahir Pancasila tahun ini mestinya tidak berhenti pada upacara atau pidato seremonial. Di tengah gempuran hoaks dan kejahatan siber, kita ditantang untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai bintang penuntun (leitstern) dalam penegakan hukum di ruang digital.

Negara tidak cukup hanya membuat regulasi, tetapi juga harus menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam budaya hukum, aparat penegak hukum, dan kesadaran kolektif masyarakat digital kita.

Hanya dengan itulah, hukum tidak hanya menjadi alat kekuasaan, melainkan cerminan dari nilai-nilai luhur yang menjadi dasar berdirinya republik ini. (Munira,S.H.,M.H)

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news