KabarMakassar.com — Pemerintah Kota Makassar tengah menyusun strategi besar untuk mengatasi ketimpangan akses pendidikan jenjang menengah pertama.
Melalui mekanisme regrouping atau penggabungan sekolah, Dinas Pendidikan (Disdik) Makassar merencanakan pendirian tujuh SMP negeri baru yang ditargetkan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2026 mendatang.
Kepala Bidang SMP Disdik Makassar, Syarifuddin, mengungkapkan bahwa langkah ini ditempuh untuk menjawab persoalan klasik pendidikan di perkotaan: penumpukan pendaftar di sekolah-sekolah favorit dan minimnya akses di wilayah padat namun terpencil dari fasilitas pendidikan lanjutan.
“Kami sedang melakukan survei lokasi dan pemetaan wilayah yang membutuhkan SMP negeri. Fokusnya pada daerah padat penduduk seperti Cendrawasih, Opu Dg Risadju, Kakatua, hingga Jalan Nuri,” ungkap Syarifuddin, Rabu (03/07).
Berbeda dari pendekatan konvensional yang menuntut anggaran besar dan pembangunan gedung dari nol, strategi regrouping ini menggunakan kembali gedung-gedung SD yang kekurangan murid untuk dialihfungsikan menjadi SMP.
“Tidak perlu pembangunan fisik yang besar. Gedung dan lahan sudah ada, tinggal alih fungsi. Ini jauh lebih efisien dibanding membangun sekolah baru yang bisa menelan biaya puluhan miliar,” ujarnya.
Langkah ini, menurut Syarifuddin, bukan hanya solusi teknis efisiensi anggaran, tetapi juga strategi distribusi pendaftar agar tidak terpusat di satu sekolah saja.
Ia mencontohkan situasi di kompleks SD Mangkura, di mana SD Negeri Mangkura 1 selalu kebanjiran pendaftar, sementara SD Inpres Mangkura cenderung sepi.
Regrouping juga dinilai sebagai jalan keluar dari persaingan tidak sehat antar sekolah dalam satu kompleks, yang justru mengganggu proses belajar dan mengelola anggaran pendidikan dengan kurang efisien.
“Bayangkan, dalam satu kompleks ada tiga kepala sekolah, tiga sistem manajemen, tapi satu di antaranya nyaris kosong karena tidak ada peminat. Kalau disatukan, cukup satu kepala sekolah dan pendaftar bisa diarahkan lebih merata,” jelas Syarifuddin.
Langkah ini juga akan menyasar sekolah-sekolah yang berada dalam satu area, seperti SD Mangkura, SD Sudirman, dan SD Monginsidi. Penyatuan sekolah dianggap bisa mengefektifkan penggunaan anggaran, fasilitas, dan sumber daya manusia seperti guru dan tenaga administrasi.
Disdik Makassar menargetkan seluruh proses administrasi dan pemetaan tuntas tahun ini agar pendirian SMP baru melalui regrouping bisa dimulai paling lambat pada tahun ajaran 2026.
Proses ini melibatkan identifikasi aset, persetujuan alih fungsi, hingga koordinasi dengan pihak sekolah dan masyarakat sekitar.
“Tahun depan kita fokus pada penyangga baru. Ini adalah upaya menjawab kebutuhan masyarakat akan sekolah negeri yang terjangkau dan merata,” pungkas Syarifuddin.
Sebelumnya, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, angkat bicara soal keterbatasan daya tampung di sekolah negeri yang menjadi sorotan jelang tahun ajaran baru 2025.
Pemerintah Kota Makassar mencatat, lebih dari 8.000 lulusan Sekolah Dasar (SD) terancam tidak memperoleh tempat di Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri akibat kapasitas yang tidak sebanding dengan jumlah pendaftar.
Kondisi ini mendorong Pemkot Makassar untuk segera menyiapkan langkah-langkah strategis guna menjamin seluruh anak tetap mendapatkan akses pendidikan, termasuk menggandeng sekolah swasta sebagai alternatif.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pemetaan terhadap kapasitas sekolah swasta di kota tersebut untuk menampung siswa yang tidak terakomodasi di SMP negeri.
“Solusi jangka pendeknya adalah memastikan distribusi siswa ke sekolah swasta berjalan lancar. Tapi tidak boleh hanya fokus pada jumlah, kualitas pendidikan juga harus jadi perhatian utama,” ujarnya, Kamis (22/05).
Menurut data Dinas Pendidikan Makassar, jumlah lulusan SD tahun ini mencapai 21.795 siswa. Sementara daya tampung SMP negeri hanya mencakup sekitar 13.696 kursi, tersebar dalam 428 rombongan belajar (rombel), dengan maksimal 32 siswa per kelas. Selisih kuota tersebut menyebabkan sekitar 8.099 siswa harus mencari alternatif lain.
Menanggapi hal ini, Appi menilai perlunya pertimbangan menyeluruh, termasuk kemungkinan menambah ruang kelas baru atau membangun unit sekolah negeri tambahan di wilayah-wilayah padat penduduk.
“Jika memang harus membangun sekolah baru, kita akan kaji kebutuhannya secara menyeluruh. Tapi itu tidak bisa dilakukan tiba-tiba, harus dengan perencanaan matang,” tegasnya.
Di sisi lain, tantangan muncul dari persepsi masyarakat terhadap sekolah swasta. Sebagian orang tua masih ragu akan kualitas pendidikan di sekolah swasta, terutama dari segi tenaga pengajar dan infrastruktur.
“Penting untuk memastikan adanya standarisasi kualitas antar sekolah, baik negeri maupun swasta. Dengan begitu, orang tua tidak ragu lagi menyekolahkan anaknya di tempat yang bukan favorit,” kata Appi.