
KabarMakassar.com — Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Palopo akan resmi digelar Sabtu, 24 Mei 2025. Namun, di tengah persiapan teknis yang terus dikebut, peringatan keras datang dari kalangan akademisi.
Pengamat politik Universitas Hasanuddin (UNHAS), Dr. Sukri Tamma meminta penyelenggara Pemilu terutama KPU dan Bawaslu untuk memastikan proses berjalan profesional, bersih, dan tidak memicu kekisruhan baru.
Mengingat, PSU ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara resmi mendiskualifikasi salah satu calon wali kota, Trisal Tahir. Dalam sidang pembacaan putusan perkara sengketa hasil Pilkada Palopo dengan nomor 168/PHPU.PUB-XXIII/2025, MK menyatakan bahwa ijazah paket C yang digunakan Trisal sebagai syarat pencalonan terbukti palsu. Meski tidak dengan kasus serupa, Ia menyoroti potensi yang bakal terjadi.
Ia menilai, PSU bukan hanya sebuah pengulangan teknis pencoblosan, tetapi sebuah ujian serius terhadap kredibilitas dan integritas penyelenggara.
“Ini bukan PSU biasa. Ini adalah PSU yang lahir dari peristiwa luar biasa yakni diskualifikasi calon karena dokumen palsu. Maka penyelenggaranya pun harus bekerja dengan cara yang luar biasa hati-hati dan profesional,” tegas Sukri melalui saluran telpon, Jumat (23/5).
Ia mengatakan bahwa Palopo pernah mengalami kekisruhan politik akibat lemahnya pengawasan dan verifikasi dokumen. Karena itu, penyelenggara tidak boleh lagi kecolongan.
“Jangan sampai PSU ini justru jadi sumber kekacauan baru. Kita tidak ingin ada kecurigaan publik terhadap netralitas dan profesionalitas KPU maupun Bawaslu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sukri Tamma menegaskan bahwa PSU Palopo bukan hanya akan menjadi perhatian lokal, tetapi juga nasional. Sebab, kasus Trisal Tahir telah menarik perhatian banyak pihak di luar Sulawesi Selatan.
“Ini bukan lagi soal Palopo semata. Ini jadi semacam contoh nasional bagaimana satu daerah bisa tergelincir karena verifikasi yang ceroboh. Maka PSU ini akan menjadi ujian moral bagi KPU dan Bawaslu Palopo. Taruhannya kredibilitas lembaga,” jelasnya.
Ia meminta seluruh perangkat pemilu, termasuk petugas TPS, PPK, dan Panwas, untuk menjaga integritas dan menghindari tindakan yang dapat mencoreng nama baik penyelenggara.
Sukri juga mengingatkan bahwa PSU bukan hanya berdampak politik, tapi juga sosial dan ekonomi. Sebuah pelaksanaan PSU yang kacau bisa memicu ketegangan antarpendukung dan mengganggu stabilitas lokal.
“Jangan anggap remeh. Ini bisa berdampak luas. Kalau PSU ini gagal lagi menjaga ketertiban dan keadilan, akan ada distrust yang berkepanjangan terhadap demokrasi lokal,” ujarnya.
Selain itu, ia menyebut bahwa anggaran PSU yang tidak kecil merupakan tanggung jawab moral bagi penyelenggara untuk dipergunakan sebaik mungkin.
Di akhir pernyataannya, Sukri Tamma mengajak seluruh pihak, termasuk masyarakat, peserta pemilu, dan penyelenggara, untuk menjadikan PSU sebagai momentum memperbaiki demokrasi, bukan mengulang kesalahan masa lalu.
“Kita punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa demokrasi bisa dibenahi. Tapi itu hanya mungkin kalau kita semua, terutama penyelenggara, benar-benar menjaga proses ini dengan penuh integritas,” tutupnya.