
KabarMakassar.com — Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 mendapat sambutan positif dari sejumlah kalangan.
Salah satunya datang dari anggota DPR RI Fraksi Nasdem Subardi, menilai putusan ini sebagai langkah korektif dalam menyempurnakan proses demokrasi di Indonesia.
Dalam sidang putusan yang digelar Kamis, 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa pemilu nasional yang meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta DPD tetap akan dilaksanakan secara serentak. Sementara itu, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) serta pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota akan dilakukan secara terpisah, paling lambat dua tahun setelah pelantikan presiden dan wakil presiden.
Menanggapi keputusan tersebut, Subardi menyatakan bahwa pemisahan waktu pelaksanaan ini justru dapat memudahkan masyarakat dalam mengikuti pemilu serta mengurangi kerumitan teknis dan beban emosional yang selama ini menjadi keluhan dalam pelaksanaan pemilu serentak.
“Kita sudah melaksanakan sistem serentak ini dua kali, 2019 dan 2024. Sekarang MK memutus pemilu dipisah mulai 2029. Kita hormati putusan tersebut sebagai bagian dari evaluasi pemilu, tidak perlu resah,” ujarnya dalam keterangannya, Senin (30/06).
Ia menambahkan, dengan tidak lagi dihadapkan pada lima surat suara dalam satu waktu, maka proses pemilu ke depan akan menjadi lebih sederhana dan tidak membingungkan bagi pemilih.
“Pemilu nanti tidak lima kotak lagi, tidak rumit dan tidak melelahkan. Masyarakat tidak perlu bingung,” tambah Subardi.
Putusan MK sendiri didasarkan pada evaluasi atas dua pelaksanaan pemilu serentak sebelumnya. Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa model serentak justru menurunkan kualitas demokrasi karena memecah fokus pemilih, membebani partai politik, serta menyulitkan penyelenggara dalam pengelolaan teknis.
Subardi sependapat bahwa jeda waktu dua tahun antara pemilu nasional dan lokal dapat memberi ruang bagi publik untuk secara lebih objektif menilai kinerja pejabat nasional sebelum menentukan pilihan di tingkat daerah.
“Dengan pemisahan, ada persiapan bagi masyarakat untuk menilai peserta pemilu lokal, sehingga pemilu bisa lebih fokus. Perhatian publik tidak selalu ke capres. Selama ini isu lokal sering tenggelam dibanding isu nasional,” terangnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa putusan MK ini akan membutuhkan penyesuaian dalam regulasi teknis, khususnya melalui revisi Undang-Undang Pemilu. Salah satu hal yang akan dibahas di DPR, khususnya Komisi II, adalah bagaimana mengatur transisi pemerintahan daerah selama jeda waktu dua tahun tersebut.
Menurutnya, solusi sementara yang paling realistis adalah memperpanjang masa jabatan anggota DPRD dan menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan sebelum pemilu lokal digelar.
“Itu akan dibahas di Komisi II. Tentu dengan pertimbangan macam-macam, seperti anggaran dan kesiapan teknis. Tetap harus diundangkan karena perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan penentuan Pj kepala daerah butuh payung hukum,” tegasnya.
Subardi juga memanfaatkan momentum ini untuk mengajak masyarakat agar tetap aktif mengikuti perkembangan regulasi dan literasi politik. Dalam kegiatan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI), ia menyampaikan bahwa pendidikan politik publik harus terus ditingkatkan agar masyarakat dapat berperan sebagai pemilih yang cerdas dan kritis.
“Literasi politik sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Masyarakat juga perlu mengikuti perkembangan RUU Pemilu agar lebih paham prosesnya dan bisa mengawasi implementasinya dengan baik,” terang Subardi.
Putusan MK ini menandai babak baru dalam sistem pemilu Indonesia, yang ke depan diharapkan lebih sederhana, efisien, serta memberikan ruang yang adil bagi dinamika politik lokal dan nasional berkembang secara seimbang.