QRIS dan GPN Jadi Sorotan AS, Pemerintah Pastikan Tidak Ada Hambatan Perdagangan

8 hours ago 4
QRIS dan GPN Jadi Sorotan AS, Pemerintah Pastikan Tidak Ada Hambatan Perdagangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Dok : Ist).

KabarMakassar.com — Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa sistem pembayaran nasional seperti QRIS (Quick Response Indonesia Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bersifat terbuka dan tidak diskriminatif terhadap operator asing, termasuk Visa dan Mastercard asal Amerika Serikat (AS).

Pernyataan ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menanggapi laporan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) awal April lalu yang menyoroti QRIS dan GPN sebagai potensi hambatan perdagangan global.

“Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri, termasuk Master ataupun Visa,” ujar Airlangga dalam konferensi pers perkembangan negosiasi tarif antara Indonesia dan AS, Jumat (25/04).

Menurut Airlangga, baik Visa maupun Mastercard memiliki peluang untuk bekerja sama dengan sistem pembayaran Indonesia, baik melalui layanan front-end maupun sebagai partisipan dalam infrastruktur pembayaran domestik.

“Jadi untuk sektor gateway ini, mereka terbuka untuk masuk di dalam front-end maupun berpartisipasi. Dan itu level playing field dengan yang lain. Jadi sebetulnya masalahnya hanya soal penjelasan,” katanya.

Ia memastikan bahwa perbedaan persepsi terkait sistem pembayaran kini telah diluruskan dan tidak lagi menjadi hambatan dalam hubungan perdagangan kedua negara.

Sebelumnya diberitakan, sistem pembayaran domestik Indonesia, seperti QRIS dan GPN, tengah menjadi sorotan dalam negosiasi tarif resiprokal antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

Pemerintah AS menilai kebijakan ini membatasi ruang gerak perusahaan asing, terutama raksasa pembayaran global seperti Visa dan Mastercard.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan telah melakukan koordinasi intensif dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusul adanya sorotan dari pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah kebijakan ekonomi nasional, khususnya di sektor keuangan dan perdagangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia menanggapi dengan serius masukan dari Amerika Serikat terkait sistem pembayaran dan kebijakan impor yang diberlakukan di dalam negeri.

Koordinasi telah dilakukan dengan BI dan OJK, sebagai langkah awal dalam menyikapi berbagai isu yang disampaikan oleh AS.

“Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Perekonomian RI, Rabu (23/4).

Namun demikian, Airlangga belum memaparkan secara rinci bentuk kerja sama atau kebijakan baru apa yang akan diambil bersama BI dan OJK.

Ia hanya menyebut bahwa pembahasan tengah dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan tarif dari Amerika Serikat yang berpotensi berdampak pada sektor ekonomi Indonesia.

Di sisi lain, Amerika Serikat juga memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan ekonomi Indonesia lainnya, seperti perizinan impor melalui sistem Online Single Submission (OSS), penggunaan Angka Pengenal Importir (API), insentif perpajakan dan kepabeanan, hingga kuota impor. Semua aspek tersebut masuk dalam ruang lingkup pembahasan dalam kerangka kerja sama bilateral antara kedua negara.

“Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi-opsi yang ada terkait kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat. Kita berharap bahwa situasi daripada perdagangan yang kita kembangkan bersifat adil dan berimbang,” ujar Airlangga.

Negosiasi antara Indonesia dan AS akan terus berlangsung dalam jangka waktu 60 hari ke depan, terhitung sejak akhir April hingga Juni 2025. Pemerintah berharap, melalui dialog ini, akan tercapai kesepahaman yang saling menguntungkan bagi kedua negara.

Selain QRIS, kebijakan BI lainnya juga turut disorot, yakni mandat kepada instansi pemerintah untuk memproses kartu kredit melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), serta kewajiban penggunaan dan penerbitan kartu kredit daerah oleh pemerintah daerah yang diberlakukan sejak Mei 2023.

Dalam laporan yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR) pada akhir Maret, disebutkan bahwa kebijakan tersebut berpotensi membatasi akses terhadap opsi pembayaran elektronik dari perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat.

“Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS,” tulis laporan tersebut.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news