KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah menunjukkan pergerakan yang fluktuatif sepanjang pekan ini, dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik. Sentimen utama yang memengaruhi volatilitas rupiah mencakup eskalasi konflik geopolitik, kebijakan hawkish Federal Reserve (The Fed), hingga laporan ekonomi dari Tiongkok dan Indonesia.
Rupiah memulai pekan ini dengan performa positif, menguat pada perdagangan hari Senin dan Selasa. Namun, pergerakan berbalik melemah di pertengahan pekan, tepatnya pada hari Rabu dan Kamis. Akhirnya, rupiah berhasil mengakhiri pekan ini dengan penguatan tipis pada Jumat (22/11).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah spot ditutup di level Rp 15.875 per dolar AS, menguat 0,35 persen secara harian, meskipun secara mingguan terkoreksi tipis 0,01 persen dibandingkan posisi akhir pekan lalu di level Rp 15.874 per dolar AS.
Sementara itu, kurs rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) mencatat penutupan di level Rp 15.911 per dolar AS pada Jumat (22/11). Kurs Jisdor menguat 0,19 persen dibandingkan hari sebelumnya, namun secara mingguan melemah 0,23 persen. Pergerakan ini mencerminkan tekanan dari dolar AS yang terus menguat di tengah sentimen global yang memanas.
Lukman Leong, Analis Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa penguatan dolar AS selama pekan ini menjadi faktor utama yang menekan rupiah. Kenaikan nilai dolar didukung oleh kekhawatiran terkait kebijakan proteksionisme Presiden Donald Trump serta eskalasi konflik di Ukraina yang memicu permintaan terhadap aset safe haven. Dolar AS juga mendapatkan dorongan tambahan dari pernyataan hawkish The Fed yang tetap optimis mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi.
Di dalam negeri, hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan rupiah.
Keputusan ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan tidak memberikan kejutan berarti. Namun, laporan defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2024 menjadi tekanan tambahan bagi rupiah.
Defisit tercatat sebesar USD 2,2 miliar atau 0,6 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan defisit kuartal sebelumnya yang mencapai USD 3,2 miliar atau 0,9 persen dari PDB.
Gejolak geopolitik juga menjadi perhatian utama pasar pekan ini. Ketegangan di Ukraina kembali memanas setelah Rusia meluncurkan rudal besar yang menghantam fasilitas militer Ukraina.
Selain itu, situasi di Timur Tengah yang masih belum stabil turut menambah ketidakpastian. Ketegangan ini mendorong kenaikan harga komoditas, termasuk emas, yang sering dianggap sebagai aset aman. Fenomena ini menciptakan pergeseran investasi dari pasar mata uang, termasuk rupiah, ke aset yang lebih defensif.
Meski begitu, rupiah berhasil sedikit menguat pada akhir pekan, didorong oleh pernyataan optimistis dari pejabat Tiongkok terkait prospek pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pernyataan ini memberikan harapan baru bagi pasar, terutama jelang pengumuman tarif dari Amerika Serikat yang diantisipasi investor.
Melihat ke depan, prospek rupiah pada pekan depan diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Pada awal pekan, investor akan menantikan keputusan Bank Sentral Tiongkok (PBoC) terkait kebijakan moneter.
Jika PBoC memutuskan untuk melonggarkan kebijakan moneternya, ini dapat menjadi sentimen positif bagi rupiah. Namun, tekanan diperkirakan kembali meningkat di pertengahan pekan, terutama setelah rilis risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang diperkirakan masih mempertahankan sikap hawkish.
Selain itu, data ekonomi Amerika Serikat seperti inflasi PCE dan revisi PDB kuartal ketiga yang akan dirilis pada pertengahan pekan juga dapat memperkuat dolar AS, menekan rupiah lebih lanjut.
Dengan minimnya data domestik yang signifikan, pergerakan rupiah pekan depan diperkirakan akan sangat bergantung pada sentimen eksternal, terutama dari perkembangan kebijakan moneter global dan ketegangan geopolitik. Investor disarankan tetap waspada terhadap berbagai potensi risiko yang dapat memengaruhi pasar keuangan.