20 Ribu Desa Masuk Kawasan Hutan, DPR Dorong Penataan Ulang Tata Ruang

1 month ago 21
20 Ribu Desa Masuk Kawasan Hutan, DPR Dorong Penataan Ulang Tata RuangAnggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Muh Haris, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Lebih dari 20.000 desa di Indonesia saat ini secara administratif berada di dalam kawasan hutan negara. Angka tersebut mencerminkan skala besar persoalan agraria yang disebut sebagai ‘bom waktu’ oleh Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Muh Haris.

Isu tersebut menjadi topik utama dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Desa Masuk Kawasan Hutan, Menata Ulang Tata Ruang dan Keadilan Agraria yang digelar BAM DPR RI di Jakarta pada 22–23 Juli 2025.

FGD ini melibatkan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa PDTT, ATR/BPN, Komnas HAM, Kemenakertrans, WALHI, serta perwakilan masyarakat dari desa-desa terdampak.

“Ini bukan hanya soal administrasi. Kita bicara nasib lebih dari 16 juta jiwa yang hidup di desa-desa tersebut,” tegas Haris.

Ia mencontohkan kasus di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang hingga saat ini dihuni oleh sekitar 15.000 jiwa, termasuk transmigran, petani lokal, dan komunitas adat. Namun status kawasan hutan yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 membuat ribuan keluarga terancam kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian.

“Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan penertiban administratif tanpa menyelesaikan konflik tata batas, legalitas lahan seperti SHM, serta pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang juga terkena imbas,” ujar Haris.

Data yang dihimpun dari WALHI menunjukkan bahwa sekitar 67% desa yang masuk kawasan hutan tidak memiliki akses legal terhadap lahan yang mereka garap. Sementara itu, lebih dari 9.000 desa tidak tercatat dalam peta tata ruang daerah, sehingga rawan dihapuskan secara sepihak oleh kebijakan kehutanan.

Persoalan serupa juga terjadi di Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, yang telah eksis sejak tahun 1950-an, memiliki lebih dari 1.200 kepala keluarga, serta fasilitas pendidikan, puskesmas, dan infrastruktur dasar. Namun wilayah tersebut saat ini diklaim sebagai bagian dari kawasan hutan Hambalang Barat.

“Bagaimana bisa negara sendiri yang membangun desa, lalu mengklaimnya sebagai hutan tanpa dialog dengan warga?” tanya Haris retoris. Ia menilai ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah telah memperburuk ketidakpastian hukum dan ekonomi masyarakat.

Muh Haris mendorong agar hasil FGD ini tidak berhenti sebagai diskusi semata, tetapi ditindaklanjuti melalui pembentukan kebijakan multisektor yang berpihak pada rakyat. Ia juga menegaskan bahwa DPR RI memiliki peran pengawasan konstitusional untuk memastikan kehadiran negara di tengah konflik agraria.

“Desa-desa ini bukan ilegal. Mereka ada karena program transmigrasi, relokasi, atau kebijakan pembangunan sebelumnya. Negara tidak boleh lepas tangan. Negara hukum harus melindungi, bukan mengusir,” tandasnya.

Dalam FGD tersebut, BAM DPR RI juga mencatat bahwa sekitar 7.800 desa terdampak belum memiliki kejelasan status lahan meskipun telah dihuni selama lebih dari tiga dekade. Sementara itu, 3.200 desa lain sudah memiliki infrastruktur lengkap namun terkendala karena status kawasan hutan lindung atau konservasi.

Forum ini juga menyimpulkan tiga poin penting, pertama urgensi harmonisasi peta tata ruang nasional dan daerah berbasis partisipasi masyarakat.

Kedua, legalitas desa dan tanah rakyat harus diutamakan sebelum eksekusi penertiban kawasan;

Ketiga, perlu regulasi lintas sektoral antara Kementerian LHK, ATR/BPN, dan Kementerian Desa untuk penyelesaian tuntas desa dalam kawasan hutan.

“FGD ini bukan akhir, tapi langkah awal untuk reformasi kebijakan agraria yang menjamin keadilan ruang dan hak hidup warga desa,” tutup Haris.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news