
KabarMakassar.com – Fakta mengejutkan terungkap dari laporan Satgas Pangan terbaru. Sebanyak 212 perusahaan teridentifikasi bertanggung jawab atas kerugian konsumen sebesar Rp3,2 triliun akibat praktik peredaran beras oplosan berkualitas premium di pasar.
Jika diestimasikan, kerugian tersebut setara dengan 700.000 ton beras, atau hampir 25% dari total kebutuhan beras nasional bulanan yang mencapai 2,6 juta ton.
Angka ini menunjukkan skala pelanggaran yang sangat serius dalam tata niaga pangan nasional, khususnya komoditas beras.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono Caping, mengkritik keras fenomena ini. Ia menyebut praktik oplosan ini bukan hanya merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga mencederai integritas para petani dan mentalitas pelaku usaha pangan.
“Beras oplosan berkualitas premium yang dipasarkan oleh oknum perusahaan beras ini sangat merusak dan mencederai petani kita. Ini hanya soal keuntungan semata dan mengabaikan etika usaha,” tegas Riyono, Selasa (15/07).
Menurutnya, musim panen tahun ini telah menunjukkan peningkatan kualitas dan volume produksi beras nasional, berkat kerja keras petani.
Karena itu, negara seharusnya memberikan apresiasi konkret dan insentif berupa harga yang baik di tingkat Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) hingga beras siap konsumsi.
“Beras petani itu asli premium, enak, cocok di lidah orang Indonesia. Di pasar, harganya masih masuk akal bagi konsumen. Ini harus kita jaga,” tambah Riyono.
Namun, merebaknya beras oplosan justru menjadi sinyal bahwa konsolidasi tata kelola perberasan nasional masih lemah. Negara dinilai belum mampu melindungi pasar dari praktik manipulatif yang merugikan publik.
Riyono menjelaskan bahwa dari total 2,5 hingga 2,6 juta ton kebutuhan beras nasional per bulan, negara melalui Bulog hanya mampu menyuplai sekitar 5% atau 100 ribu ton.
Sementara 95% sisanya dikuasai oleh swasta, yang membuka celah terjadinya praktik curang seperti pengoplosan, manipulasi harga, hingga penyelundupan.
“Saat ini 95 persen peredaran beras dikuasai swasta. Artinya, tata kelola pasar pangan pokok kita sangat rentan akan penyimpangan. Negara hanya pemain minor,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa negara harus hadir sepenuhnya, bukan hanya sebagai pengawas. Kontrol terhadap rantai distribusi dari hulu ke hilir harus diperkuat, dan keterlibatan swasta harus diarahkan pada skema berbasis sosial, seperti program SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), bukan bebas pasar yang rawan manipulasi.
“Negara baru berperan di 5% pasar beras. Minimal harusnya 20% atau bahkan 50% agar tata niaga bisa dikendalikan. Kalau tidak, kita akan terus bermain dalam lingkaran curang dan merugikan rakyat,” tegasnya.
Riyono juga menyampaikan bahwa Satgas Pangan tidak akan mampu bekerja sendiri dalam membasmi praktik curang di sektor pangan jika negara tidak memperkuat regulasi dan membangun BUMN pangan yang kuat dan profesional.
Menurutnya, saat ini adalah momentum krusial bagi pemerintah untuk membuktikan keberpihakan nyata pada kedaulatan pangan dan keamanan konsumen.
Kejadian beras oplosan ini seharusnya menjadi titik balik untuk reformasi tata niaga beras nasional, dengan memperbesar peran negara dan mengembalikan fungsi kontrol negara terhadap harga, kualitas, dan distribusi.
“Kita butuh BUMN pangan yang tidak hanya kuat di atas kertas, tapi juga bisa bersaing dan mengontrol pasar secara sehat dan berpihak pada rakyat,” tutup Riyono.