Ahmad Muzani Kritik Putusan MK Soal Pemilu: Ada Potensi Bertentangan dengan UUD 1945

8 hours ago 4
 Ada Potensi Bertentangan dengan UUD 1945 Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani (Dok: Sinta Kabar Makassar).

KabarMakassar.com — Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani menyampaikan respons tegas terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Menurutnya, keputusan tersebut bukan hanya mengubah arsitektur pemilu nasional yang telah mapan, tetapi juga membuka ruang tafsir baru terhadap Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.

Muzani menjelaskan bahwa ide pemisahan antara pemilu presiden-DPR RI dan pemilu kepala daerah-DPRD sebenarnya bukan hal baru.

Konsep ini pernah mencuat saat DPR RI membahas revisi Undang-Undang Pemilu, namun akhirnya ditolak karena dinilai bertentangan dengan semangat negara kesatuan.

“Waktu itu, DPR menilai skema pemisahan lebih dekat dengan sistem federalisme. Padahal, Indonesia adalah negara kesatuan. Maka diputuskan untuk tetap menyatukan pemilu nasional dan pemilu daerah dalam satu siklus lima tahunan,” ungkap Muzani, usai konsolidasi Gerindra bertajuk Temu Kader di Hotel Claro, Makassar, Jumat (04/07).

Lebih jauh, Ketua MPR RI itu mengingatkan bahwa skema pemilu serentak justru lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yang mewajibkan pemilu dilakukan secara bersamaan untuk memilih Presiden, DPR, DPD, hingga DPRD di semua tingkatan.

“Kita sudah menjalankan pemilu serentak dua kali, yakni 2019 dan 2024. Sistem ini adalah hasil putusan MK itu sendiri. Sekarang, MK kembali mengubah pendekatan yang pernah mereka tetapkan. Ini menimbulkan pertanyaan serius,” ujarnya.

Menurut Muzani, apabila putusan MK terbaru dijalankan, maka pemilu daerah, termasuk Pilkada dan pemilihan DPRD, akan digelar sekitar dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

Artinya, terdapat jeda waktu yang bisa menggeser makna ‘pemilu lima tahunan’ seperti yang diamanatkan dalam konstitusi.

“Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan DPRD. Kalau pilkada dan DPRD dilaksanakan setelah jeda, maka masa pemilihan tidak lagi utuh lima tahun. Ini bisa dianggap menyimpang dari konstitusi,” tegasnya.

Ia menambahkan, Partai Gerindra saat ini tidak mengambil posisi reaktif, melainkan sedang melakukan kajian mendalam terhadap putusan tersebut bersama berbagai pihak terkait.

“Saya sudah berdiskusi dengan Mendagri dan Ketua KPU. Keduanya juga belum mengambil sikap final. Mereka masih mempelajari implikasi teknis dan hukum dari putusan MK,” terang Muzani.

Menurutnya, persoalan ini tidak semata-mata menyangkut teknis pemilu atau untung-rugi secara politik. Yang lebih penting adalah bagaimana keputusan hukum dapat tetap sejalan dengan semangat dan prinsip dasar konstitusi.

“Kita menghormati kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang. Tapi jika hasilnya menimbulkan potensi inkonsistensi konstitusional, maka itu patut didiskusikan lebih lanjut. Jangan sampai satu tafsir baru menimbulkan ketegangan hukum dan ketidakpastian politik menjelang 2029,” katanya.

Muzani juga mengingatkan bahwa wacana amandemen UUD 1945, yang belakangan mulai mencuat, tidak boleh didorong semata karena urgensi teknis pemilu.

“Amandemen harus dibangun atas dasar kebutuhan jangka panjang dan konsensus nasional,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news