Guru Besar Antropologi Unhas, Prof. Tasrifin Tahara . Dok. IstKabarMakassar.com — Kontroversi komika Pandji Prawigaksono yang diduga menghina masyarakat Toraja lewat materi stand up-nya terus menuai kecaman.
Setelah Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) menyatakan protes keras, kini akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) turut bersuara.
Guru Besar Antropologi Unhas, Prof. Tasrifin Tahara menilai apa yang disampaikan Pandji bukan sekadar kelakar, tetapi sudah menyentuh ranah pelecehan terhadap ekspresi budaya sebuah suku bangsa.
“Pandji perlu memahami lebih mendalam bagaimana ekspresi budaya orang Toraja,” ujarnya, Senin (03/11).
Menurut Tasrifin, budaya tidak bisa dilihat secara parsial, melainkan harus dipahami secara holistik. Artinya menyeluruh, mencakup dimensi sosial, ekonomi, politik, dan spiritual masyarakatnya.
Ia menilai, apa yang disampaikan Pandji dalam video yang beredar itu justru menunjukkan ketidaktahuan terhadap makna filosofis Rambu Solo’, ritual adat kematian yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Toraja.
“Rambu Solo’ itu kebudayaan luhur dan agung, bahkan sudah diakui UNESCO. Jadi tidak pantas dijadikan bahan lelucon,” tegasnya.
Tasrifin menjelaskan, Rambu Solo’ bukan sekadar pesta adat yang identik dengan kemewahan. Melainkan upacara penghormatan terakhir bagi keluarga yang meninggal dunia.
Dalam pandangan masyarakat Toraja, prosesi itu menjadi bentuk penghargaan tertinggi atas kehidupan seseorang sekaligus wujud kasih dan gotong royong dalam keluarga besar.
“Rambu Solo’ adalah bagian dari kehidupan religius yang agung. Itu proses mengantar jenazah ke alam Puya, atau menghadap Tuhan,” katanya.
Menurutnya, kesalahpahaman muncul karena banyak orang luar melihat Rambu Solo’ hanya dari sisi biaya besar yang dikeluarkan alias buang-buang duit. Tapi, mereka tidak memahami struktur sosial yang menopang tradisi tersebut.
“Kalau sampai sekarang tetap dipertahankan, artinya didukung oleh struktur sosial. Jangan dilihat dari buang-buang uang, tapi lihat dari kekerabatan dan solidaritas sosial,” jelasnya.
Ia juga menilai, justru dari tuntutan ekonomi itulah masyarakat Toraja menemukan motivasi untuk bekerja keras. Banyak warga yang merantau untuk mengumpulkan rezeki sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan budaya.
“Di situ harusnya kita melihatnya. Bahwa ada semangat ekonomi dan etos kerja yang tumbuh dari tradisi itu,” ujar Tasrifin.
Dalam video yang beredar luas di media sosial, Pandji disebut melontarkan materi yang menggambarkan masyarakat Toraja jatuh miskin karena memaksakan diri menggelar pesta kematian.
Ia juga menyebut jenazah bisa dibiarkan di ruang tamu jika keluarga belum mampu memakamkannya. Pernyataan ini yang menuai amarah publik.
Menurut Tasrifin, bentuk candaan seperti itu sudah termasuk dalam pelecehan kultural, karena memperolok ekspresi budaya dari suku tertentu.
“Stand up comedy itu kan narasinya disusun dulu. Artinya ada kesadaran sebelum ditampilkan. Mestinya dia bisa berpikir, apakah ini bisa menyinggung pemangku budaya atau tidak,” katanya.
Ia menegaskan, kebebasan berekspresi semestinya disertai dengan tanggung jawab moral dan pengetahuan tentang keragaman budaya bangsa.
Prof. Tasrifin berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi publik, terutama bagi para seniman dan kreator konten untuk lebih berhati-hati dalam menyinggung kebudayaan daerah. Indonesia, katanya, adalah bangsa yang besar karena keragaman budayanya, bukan meskipun karenanya.
“Kalau konteksnya humor, tetap harus dibuat dengan sadar. Jangan terlalu sempitlah cara pandangnya. Kita harus belajar menghargai perbedaan ekspresi budaya. Kalau mau memahami, pelajari dulu, baru bicara,” tuturnya.
Ia menambahkan, masyarakat Toraja sendiri dikenal terbuka terhadap kritik selama disampaikan dengan penghormatan dan niat membangun. Namun, jika adat dan nilai spiritual mereka dijadikan bahan olok-olok, maka wajar jika muncul reaksi keras.

















































