
KabarMakassar.com — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029 memicu perbedaan pandangan tajam di tubuh parlemen. Dua anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin dari Fraksi PKB dan Jazuli Juwaini dari Fraksi PKS, menyuarakan sikap yang berseberangan terkait langkah konstitusional MK.
Khozin secara terang-terangan menyebut putusan tersebut sebagai bentuk paradoks hukum. Ia menyoroti bahwa MK sebelumnya, dalam Putusan No 55/PUU-XVII/2019, telah memberikan enam opsi model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang. Namun dalam putusan terbaru, MK justru membatasi hanya pada satu model, yaitu pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
“Putusan ini paradoks. MK sebelumnya menyatakan bahwa mereka tidak berwenang menentukan model keserentakan, tapi sekarang mereka justru memutuskannya sendiri. Ini ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” tegas Khozin, legislator dari Dapil Jember–Lumajang, Sabtu (29/6).
Khozin menilai langkah MK kali ini melewati batas fungsi yudikatifnya. Ia menegaskan bahwa menentukan model keserentakan merupakan domain eksklusif dari pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah. Lebih jauh, ia mengingatkan kembali isi pertimbangan hukum angka 3.17 dari Putusan MK No 55 yang menyatakan bahwa MK tidak berwenang menetapkan model keserentakan.
“Ini bukan sekadar soal waktu pemilu. Dampaknya akan terasa pada aspek kelembagaan, teknis penyelenggaraan, hingga legitimasi sistem politik kita. Ketika hakim konstitusi tak lagi menjaga konsistensi yuridis, maka yang dirugikan adalah demokrasi itu sendiri,” kritik Khozin.
Ia juga menyebut bahwa putusan tersebut bisa memicu disharmoni antarlembaga negara. Untuk itu, DPR akan menjadikan putusan MK ini sebagai dasar dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang dijadwalkan dalam waktu dekat. “Kita perlu melakukan rekayasa konstitusional, bukan sekadar mengikuti tafsir sempit atas kewenangan,” tambahnya.
Namun berbeda dengan Khozin, anggota Komisi II dari Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, mengambil sikap yang lebih moderat dan menghormati putusan MK. Ia menilai langkah MK sebagai bagian dari upaya memperbaiki desain kepemiluan nasional, dengan menekankan pentingnya konsolidasi dan efektivitas.
“Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, MK telah menjalankan tugasnya. Putusan ini final dan mengikat, dan harus dijadikan pedoman bagi pembuat kebijakan,” kata Jazuli.
Jazuli menguraikan bahwa skema baru pemilu akan berjalan dalam dua tahap: pertama, Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) tetap dilaksanakan pada 2029; kedua, Pemilu Daerah (Pilkada dan DPRD) digeser ke tahun 2031 dan disatukan pelaksanaannya.
Menurutnya, implikasi dari pemisahan ini tidak bisa diremehkan. Maka dari itu, DPR bersama pemerintah perlu segera menyiapkan revisi UU Pemilu dan Pilkada agar transisi dari model lama ke yang baru berjalan lancar.
“Ini bukan sekadar penyesuaian teknis. Ini momen untuk mereformasi tata kelola pemilu agar lebih efisien, partisipatif, dan akuntabel. Termasuk bagaimana mengelola masa jeda antara 2029 hingga 2031 yang menyangkut jabatan kepala daerah dan anggota DPRD,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa langkah legislatif selanjutnya harus disusun secara hati-hati dan terbuka terhadap partisipasi publik. “DPR tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus melibatkan KPU, Bawaslu, serta masyarakat sipil agar keputusan ini membawa kemajuan, bukan justru konflik baru,” ujar Jazuli.
Jazuli juga menilai bahwa pemisahan pemilu nasional dan daerah sebenarnya bisa membantu efektivitas penyelenggaraan, sebab beban kerja penyelenggara selama ini dinilai sangat berat saat pemilu serentak digelar bersamaan.
Meski berada pada kutub yang berbeda, kedua anggota DPR ini sepakat bahwa tindak lanjut atas putusan MK adalah revisi UU Pemilu yang matang, konstitusional, dan berorientasi pada kualitas demokrasi.