
KabarMakassar.com — Polemik potongan biaya administrasi BPD Sulselbar terhadap insentif bulanan pekerja keagamaan di Kota Makassar mendapat sorotan tajam dari DPRD Kota Makassar.
Sorotan ini dilontarkan saat melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar antara Komisi D DPRD Makassar, Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dan pihak Bank Sulselbar, Selasa (16/07), terungkap adanya potongan hingga Rp40 ribu dari insentif yang hanya berjumlah Rp250 ribu per bulan. Akibatnya, penerima hanya menerima Rp210 ribu.
Ketua Komisi D DPRD Kota Makassar, Ari Ashari Ilham, mengatakan pihaknya telah mempertemukan langsung Bank Sulselbar dengan Bagian Kesra untuk mencari solusi konkret atas keluhan tersebut.
Salah satu langkah yang disepakati adalah memigrasikan jenis rekening dari tabungan biasa ke produk “Tabunganku” yang tidak dikenakan biaya administrasi.
“Alhamdulillah sudah ada titik temu. Kami minta agar rekening para pekerja keagamaan dipindahkan ke produk tabungan yang bebas admin. Tapi persoalannya bukan hanya itu, ada keluhan tentang pelayanan juga. Mereka merasa dipingpong dari satu kantor ke kantor lain,” ujar Ari.
Ia menekankan bahwa kendala teknis dalam pelayanan publik oleh bank juga menjadi sorotan utama.
“Sebagian tenaga keagamaan harus bolak-balik ke cabang tempat pembukaan rekening untuk menyelesaikan masalah pemblokiran, padahal kondisi mereka sangat terbatas. Ini bukan sekadar administrasi, ini tentang perlakuan yang adil,” tegasnya.
Lebih jauh, Anggota DPRD Kota Makassar, Muchlis A. Misbah, menyampaikan kritik keras terhadap kualitas pelayanan Bank Sulselbar kepada para pekerja sosial seperti pemandi jenazah dan guru mengaji. Ia menilai pegawai bank memperlakukan nasabah berdasarkan status ekonomi.
“Coba buka CCTV bank bapak! Lihat bagaimana pegawai memperlakukan pemandi jenazah dibandingkan dengan nasabah kaya. Beda sekali. Padahal mereka sama-sama nasabah,” kata Muchlis dengan nada emosional.
Ia bahkan menyebut nama salah satu pemandi jenazah di Kota Makassar yang hanya menerima Rp290 ribu sebulan dan tinggal tepat di depan rumahnya.
“Saya tahu betul kondisi mereka. Kadang buat makan saja susah. Saya kalau cerita ini ke istri, saya bisa menangis. Masa iya orang seperti ini masih dikenakan biaya admin? Ke mana empati kita?” ungkapnya.
Menurutnya, sebagai bank milik pemerintah, Bank Sulselbar seharusnya menjadi yang paling peduli terhadap kelompok masyarakat rentan.
“Bank pemerintah seharusnya tidak hanya bicara soal aturan. Kalau semua aturan tidak bisa diatur, lalu untuk apa ada kebijakan? Subsidi silangkan dong! Yang kaya bantu yang tidak mampu,” seru Muchlis.
Ia juga mendorong agar Bank Sulselbar memberikan keringanan biaya untuk ATM atau bahkan menggratiskan seluruh biaya layanan kepada tenaga sosial keagamaan.
“Jangan sampai hanya karena tidak ada ATM, mereka harus keluar ongkos, parkir, dan waktu hanya untuk ambil insentif. Habis bensinnya, habis semuanya,” katanya.
Muchlis juga mengajak agar para pegawai bank tidak hanya bekerja untuk dunia, tapi juga menjadikan pelayanan mereka sebagai amal ibadah.
“Dunia ini sebentar. Akhirat selamanya. Kenapa tidak gunakan jabatan untuk membantu mereka yang membutuhkan? Ini ladang pahala,” ujarnya.
Ia juga mendesak Bank Sulselbar agar mengambil langkah konkret dan membuat kebijakan khusus bagi pekerja keagamaan seperti pemandi jenazah dan guru mengaji.
“Tolonglah pak, jangan biarkan mereka terus diperlakukan tidak adil. Ini bukan hanya soal uang, ini soal kemanusiaan,” pungkasnya.