KabarMakassar.com — Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Sulawesi Selatan memperingati hari lahir (harlah) ke-27 dengan menggelar diskusi strategis bertajuk Membaca Visi, Permasalahan, dan Prioritas Pembangunan Sulsel 2025–2030.
Kegiatan ini menjadi momentum reflektif sekaligus kritik terbuka terhadap arah penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulsel ke depan.
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah tokoh kunci perencanaan daerah seperti Kepala Bappelitbangda Sulsel Dr. Setiawan Aswad, akademisi, serta unsur perencana teknis lainnya, termasuk Perwakilan Yayasan Bakti Lusia Palulungan dan Akademisi, guna menggali masukan lintas perspektif yang lebih menyeluruh dari berbagai elemen masyarakat.
Ketua DPW PKB Sulsel, Azhar Arsyad, menegaskan bahwa RPJMD Sulsel 2025–2030 harus disusun dengan pendekatan yang tidak hanya normatif, tetapi juga mampu mengharmonisasi fakta-fakta konkret di lapangan. Ia menilai bahwa hingga saat ini, banyak kebijakan dan program pembangunan belum menyentuh akar persoalan masyarakat secara substansial.
“RPJMD ini sebenarnya harus menjadi hasil harmonisasi antara visi besar pembangunan dengan kebutuhan riil rakyat. Namun yang kita rasakan, masih terlalu banyak pendekatan elitis bahkan literasi kebijakan seolah hanya dipahami dan dibahas dengan gaya jurnal akademik yang menjauh dari realitas sosial masyarakat,” ujar Azhar.
Menurutnya, banyak tokoh dari sektor rakyat merasa terasing dari proses perumusan kebijakan, karena narasi pembangunan masih dominan dikendalikan oleh elit politik dan teknokrat birokrasi.
“Kami tidak ingin harlah ini sekadar seremoni, tapi menjadi ruang kontribusi agar teman-teman di parlemen bisa mengusulkan rekomendasi yang otentik dan membumi,” tegasnya.
Diskusi juga diwarnai harapan agar Pemprov Sulsel tidak lagi menjadikan dokumen perencanaan sebagai produk administratif semata. Azhar meminta agar perencanaan tidak lagi hanya berfokus pada indikator fisik dan teknokratis, tetapi mencerminkan nilai keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi.
Ia juga menegaskan pentingnya membuka ruang partisipasi publik dalam seluruh tahap penyusunan RPJMD, termasuk mendengar langsung suara rakyat desa, nelayan, buruh, dan komunitas adat. “Kita tidak ingin hanya bicara proyeksi angka dan grafik, tapi gagal membangun proyeksi kehidupan rakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Azhar meminta agar diskusi menjadi dua arah agar menemukan solusi dan penambahan ide dalam pembentukan RPJMD 2024-2029.
“Saya harap diskusi ini menjadi dua arah agar menjadi masukan dalam pembentukan RPJMD yang sementara digarap di DPRD provinsi Sulsel,” pungkasnya
Sementara itu, Kepala Bappelitbangda Sulsel, Dr. Setiawan Aswad, yang hadir dalam forum ini menyambut baik kritik dan saran yang disampaikan. Ia menilai bahwa forum lintas aktor seperti ini penting untuk memperkaya proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan.
“Saya mengapresiasi PKB Sulsel karena telah membuat forum seperti ini, dengan adanya forum seperti ini kita membuka ruang saling sering soal RPJMD,” ujarnya.
Kemudian ia menjelaskan, RPJMD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka periode selama 5 ( lima ) tahunan yang berisi penjabaran dari visi , misi , dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional.
“Nah ini nantinya di bahas di DPRD dengan pihak-pihak yang terlibat dalam merincikan RPJMD, makanya RPJMD ini terkesan tertutup, tapi sebenarnya pemerintah telah membuka ruang itu di keluarkan, kecamatan, hingga ke kabupaten/kota,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Program MAMPU BaKTI, Lusia Palulungan mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan agar memperkuat perhatian terhadap penyandang disabilitas dengan memasukkan pelayanan inklusif dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang baru.
Menurut Lusia, saat ini masih banyak persoalan mendasar yang dihadapi oleh kelompok rentan, seperti kemiskinan, ketimpangan pendapatan, keterbatasan akses pendidikan, dan air bersih. Namun, kelompok disabilitas masih kerap diabaikan dalam perencanaan pembangunan daerah.
“Pemerintah harus punya data akurat terkait jumlah penyandang disabilitas di Kota Makassar dan daerah lain. Dari data itu, harus jelas berapa yang mengalami keterbatasan penglihatan, pendengaran, atau akses fisik. Tanpa data yang rinci, pelayanan tidak akan pernah tepat sasaran,” tegasnya.
Ia menyoroti kecenderungan selama ini bahwa layanan publik, khususnya di sektor kesehatan, masih menjeneralisasi kebutuhan warga. Pemerintah menyediakan puskesmas dan rumah sakit dengan asumsi bahwa semua orang mampu datang dan mengaksesnya secara langsung.
“Padahal, banyak penyandang disabilitas tidak mampu datang karena keterbatasan fisik maupun perlakuan diskriminatif,” ujarnya.
Lusia juga menyinggung pelaksanaan pendidikan inklusif yang menurutnya masih jauh dari harapan. Berdasarkan pengalaman Yayasan BaKTI di beberapa kabupaten/kota, sekolah belum dilengkapi guru pembimbing atau pendamping khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Kebijakan nasional sudah mendorong pendidikan inklusif, tapi implementasinya lemah karena tidak didukung sumber daya manusia yang memadai,” Pungkasnya.
Diketahui, diskusi ini menjadi bagian bagian dari rangkaian Harla PKB Sulsel yang ke-27 dan menyambut Pemilu 2029, sekaligus menunjukkan komitmen partai terhadap perencanaan pembangunan daerah yang lebih terbuka, partisipatif, dan berpihak pada rakyat bawah.