
KabarMakassar.com — Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi (Disnakertrans) Sulawesi Selatan menyambut baik wacana pembukaan kembali pengiriman pekerja migran Indonesia ke kawasan Timur Tengah.
Kepala Disnakertrans Sulsel, Jayadi Nas menilai bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu pasar kerja yang ideal bagi tenaga kerja asal Sulsel.
Jayadi menyebut bahwa kesamaan ideologi dan budaya menjadi faktor utama yang membuat pekerja asal Sulawesi Selatan mudah beradaptasi saat bekerja di Timur Tengah.
Hal ini dinilai sangat penting, mengingat banyak permasalahan yang muncul ketika pekerja migran dikirim ke negara-negara dengan perbedaan nilai dan sistem sosial yang signifikan.
Menurutnya, pemerintah pusat melalui Kementerian P2MI sudah mulai mempertimbangkan untuk membuka kembali moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah yang telah berlangsung sejak era Menteri Muhaimin Iskandar.
Jayadi menyampaikan bahwa dirinya telah berdiskusi langsung dengan sejumlah pejabat Kementerian P2MI terkait hal tersebut.
“Saya berdiskusi dengan Pak Menteri dan Pak Wamen P2MI, mereka akan membuka kembali tentang moratorium yang selama ini terjadi ketika zamannya Menteri Pak Muhaimin Iskandar. Mereka akan buka, dan itu adalah suatu hal yang baik,” ujar Jayadi, Rabu (09/07).
Jayadi menjelaskan bahwa dari sisi keagamaan, negara-negara di Timur Tengah memberikan ruang yang lebih luas bagi pekerja migran Indonesia untuk menjalankan ibadah.
Hal ini dianggap sebagai salah satu nilai tambah yang jarang ditemukan di negara-negara tujuan lain.
“Karena yang selalu menjadi persoalan di para pekerja migran kita adalah mereka tidak diizinkan salat, hanya bekerja terus. Tetapi kalau di Timur Tengah memiliki chemistry, ideologi yang sama sehingga itu agak baik karena tenaga kerja kita diizinkan untuk beribadah dan segalanya,” katanya.
Tidak hanya soal ideologi dan agama, Jayadi juga menyoroti kesamaan budaya antara masyarakat Indonesia, khususnya Sulsel, dengan masyarakat di Timur Tengah.
Kesamaan ini menurutnya menciptakan ruang adaptasi yang lebih mudah dan minim konflik sosial di tempat kerja.
“Dalam konteks budaya juga kurang lebih sama sehingga relatif agak bisa beradaptasilah dengan teman-teman kita di dalam proses itu semua,” sambung Jayadi.
Data internal Disnakertrans menyebutkan bahwa Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah pengirim terbesar tenaga kerja ke Timur Tengah.
Meski data terbaru belum dirilis, posisi Sulsel dklaim berada di urutan kedua nasional, setelah salah satu provinsi di Pulau Jawa.
“Itu yang sebelum-sebelumnya. Datanya tidak tahu persis, tetapi info dari P2MI, Sulsel itu yang nomor dua di Indonesia yang selalu mengirim pekerja migran ke Timur Tengah,” jelasnya.
Sebagian besar pekerja migran asal Sulsel dikirim ke Arab Saudi, meski ada juga yang tersebar di negara lain seperti Iran dan Yaman.
Jayadi menegaskan bahwa Arab Saudi merupakan destinasi favorit karena dianggap memiliki kedekatan yang paling tinggi dalam berbagai aspek sosial dan budaya.
“Rata-rata kalau pekerja migran kita itu lebih memilih Arab Saudi. Rata-rata di Arab Saudi,” ucap Jayadi.
Jayadi juga membandingkan kondisi ini dengan Filipina dan India yang saat ini mendominasi jumlah tenaga kerja asing di Timur Tengah.
Dia menyayangkan Indonesia belum mampu memaksimalkan peluang yang sebenarnya sangat cocok secara kultural dan religius.
“Itu menunjukkan bahwa Filipina sudah semakin luar biasa mendorong itu. Nah padahal kita yang dari segi ideologi dan budaya itu yang paling memungkinkan untuk itu (ke Timur Tengah),” jelasnya .
Kendati demikian, Jayadi berharap agar pemerintah pusat tetap berhati-hati dalam memutuskan pembukaan kembali pasar kerja ke Timur Tengah, mengingat kondisi geopolitik kawasan yang masih fluktuatif.
Dia menegaskan bahwa Sulsel siap jika keputusan tersebut diambil demi membuka lebih banyak lapangan kerja bagi warganya.
“Kita berharap mudah-mudahan perang dagang, termasuk perang tarif mudah-mudahan tidak terjadi dan kita sama-sama menarik diri untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat kita. Terus terang, sangat berharap wilayah Timur Tengah (dibuka), karena budayanya, kemudian karena ideologinya, sehingga adaptasinya tidak sulit,” pungkasnya.