
KabarMakassar.com — Ketika dunia tengah dibayangi ketegangan geopolitik dan tekanan ekonomi global, nilai tukar rupiah kembali menjadi sorotan. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat terjun bebas dan menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah, yaitu Rp17.059 per dolar AS.
Bukan hanya karena volatilitas pasar yang tinggi, tetapi juga karena rupiah mengalami pelemahan yang cukup signifikan akibat memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah negara mitra, termasuk Indonesia.
Gejolak terbaru ini terlihat jelas dari pergerakan nilai tukar di pasar non-deliverable forward (NDF), sebuah instrumen keuangan yang banyak digunakan untuk memperdagangkan mata uang di luar negeri.
Pada Minggu (6/4) pukul 08.10 WIB kemarin, data dari Refinitiv menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat terjun bebas dan menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah, yaitu Rp17.059 per dolar AS. Angka ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap situasi makroekonomi Indonesia dan tekanan eksternal yang terus meningkat.
Meski pada malam harinya hingga Senin pagi (7/4) pukul 10.00 WIB tadi nilai tukar mulai menunjukkan perbaikan dengan kembali ke level Rp16.670/USD, fluktuasi tajam tersebut menjadi sinyal serius bahwa ekonomi Indonesia sedang menghadapi guncangan yang nyata.
Pasar NDF sendiri, yang menjadi acuan utama dalam berita ini, bukanlah fasilitas yang tersedia di dalam negeri. Saat ini, perdagangan NDF masih terbatas pada kota-kota keuangan besar dunia seperti Singapura, Hong Kong, New York, dan London. Absennya pasar NDF di Indonesia menyebabkan keterbatasan dalam mengelola volatilitas nilai tukar secara langsung dari dalam negeri.
Pelemahan rupiah ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Dalam beberapa waktu terakhir, Trump mengeluarkan kebijakan tarif impor baru sebagai bentuk proteksi terhadap industri dalam negerinya.
Kebijakan tersebut bersifat resiprokal atau timbal balik, yang dalam praktiknya membuat barang-barang ekspor dari Indonesia dikenakan tarif masuk sebesar 32% di pasar AS.
Dampaknya, investor asing mulai kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas pasar keuangan Indonesia. Banyak dari mereka menarik investasinya, sehingga menyebabkan tekanan jual yang tinggi dan berdampak langsung pada pelemahan mata uang nasional.
Arus keluar modal ini menjadi sinyal bahwa para pelaku pasar lebih memilih untuk mengamankan dananya di negara-negara dengan kondisi ekonomi yang lebih stabil.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, turut memberikan pandangannya terkait kondisi ini. Ia menyebutkan bahwa kebijakan Trump telah menciptakan tekanan baru bagi nilai tukar rupiah.
Bahkan, menurutnya, dalam beberapa waktu ke depan, nilai tukar bisa kembali menembus angka Rp17.000 per dolar AS. Ia memperkirakan pembukaan pasar dalam minggu ini bisa berada di kisaran Rp16.900, dan potensi ‘pecah telur’ pada level psikologis Rp17.000 masih sangat terbuka.
Di sisi lain, respons China terhadap tarif baru yang diberlakukan AS justru memperkeruh suasana. China tidak tinggal diam, dan membalas dengan menerapkan tarif tambahan sebesar 34% terhadap semua produk asal Amerika.
Selain itu, pemerintah Tiongkok juga mengumumkan pembatasan ekspor terhadap berbagai komoditas penting yang digunakan dalam industri teknologi tinggi, seperti samarium, gadolinium, terbium, diprosium, lutetium, scandium, dan itrium.
Langkah-langkah ini diambil untuk menunjukkan posisi tegas China dalam perselisihan dagang global yang terus meningkat.
Seluruh rangkaian kebijakan dan aksi balasan tersebut menciptakan ketidakpastian yang luar biasa di pasar keuangan global.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi pihak yang paling rentan dalam situasi ini. Ketergantungan terhadap ekspor dan investasi asing membuat rupiah sangat sensitif terhadap sentimen negatif dari luar negeri.
Tak hanya berdampak pada nilai tukar, pelemahan rupiah ini juga akan berimbas pada harga barang impor yang cenderung lebih mahal.
Di sisi lain, barang-barang ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat juga berpotensi tidak lagi kompetitif akibat lonjakan tarif masuk. Hal ini tentu menjadi tantangan serius bagi pelaku usaha dalam negeri dan dapat memperburuk neraca perdagangan Indonesia dalam waktu dekat.
Dalam kondisi seperti ini, stabilitas rupiah menjadi sangat penting. Pemerintah dan otoritas moneter harus bekerja ekstra untuk menjaga kepercayaan pasar dan mengurangi dampak negatif dari dinamika global yang terus bergerak cepat.
Dengan tekanan yang datang dari berbagai arah, diperlukan kebijakan yang responsif dan koordinasi lintas sektor agar dampak pelemahan rupiah tidak semakin meluas ke aspek ekonomi lainnya.