Efisiensi atau Eliminasi? Wajah Baru Birokrasi Makassar Dipertanyakan Dewan

3 hours ago 3

KabarMakassar.com – Pemerintah Kota Makassar tengah menjadi sorotan terkait kebijakan penataan tenaga non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN) atau yang dikenal dengan sebutan Laskar Pelangi.

Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ribuan pegawai kontrak tersebut menuai kritik tajam dari legislator DPRD Kota Makassar, yang menilai kebijakan ini berpotensi menambah pengangguran dan memicu gejolak sosial.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Kota Makassar, Akhmad Namsum, menepis tudingan bahwa penataan ini adalah bentuk PHK massal.

Menurutnya, langkah ini murni mengikuti arahan pemerintah pusat untuk menyesuaikan status kepegawaian secara nasional.

“Tidak benar jika disebut ada PHK massal. Ini adalah bagian dari proses validasi dan penyesuaian status pegawai berdasarkan Surat Edaran BKN dan Menteri PAN-RB. Tidak ada kebijakan sepihak dari pemerintah kota,” tegas Namsum, Sabtu (17/05).

Namun, narasi ini dibantah oleh Ketua Fraksi Gerindra DPRD Makassar, Kasrudi. Ia menerima laporan bahwa dalam penataan ini, pegawai yang bekerja baik justru dikeluarkan tanpa dasar jelas.

“Kalau pegawai itu tidak efektif atau fiktif, silakan dievaluasi. Tapi yang rajin, datang tiap hari, absennya ada, kenapa dikeluarkan hanya karena tidak terdaftar di BKN? Jangan sapu rata,” kritik Kasrudi, saat ditemui di Kantor DPRD Kota Makassar, Senin (19/05).

Ia meminta agar pendekatan kebijakan lebih manusiawi dan disesuaikan dengan jenis pekerjaan. Jika pegawai Laskar Pelangi seperti petugas kebersihan diberikan aplikasi untuk melaksanakan pendaftaran, tentu mereka akan gugur karena tidak paham teknologi.

“Kalau soal kebersihan, yang dinilai itu kerajinan dan kehadiran. Tidak perlu diuji dengan soal lewat aplikasi. Cukup dilihat loyalitasnya saja, mereka akan banyak gugur kalau pakai aplikasi,” katanya.

Kasrudi juga menyoroti efek domino kebijakan ini di sektor pelayanan dasar seperti kebersihan dan Kebudayaan. Ia mengungkapkan adanya tenaga kebersihan dan pendamping wisata di Dinas Kebudayaan turut terdampak karena dinilai tak mampu mengikuti sistem berbasis aplikasi.

“Petugas kebersihan itu tidak semua paham teknologi. Kalau penilaiannya hanya dari aplikasi, tentu mereka gugur. Padahal, mereka sudah mengabdi bertahun-tahun,” ujarnya prihatin.

Ia juga menuding kebijakan ini tidak sensitif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan, ada dugaan politisasi di balik pemilihan siapa yang diberhentikan.

“Bisa jadi ini ada nuansa politis. Jangan karena tidak satu partai, lalu dikeluarkan. Pemerintah harus berdiri untuk semua warga, bukan hanya kelompok tertentu,” ujarnya.

Tak hanya Kasrudi, anggota DPRD dari Fraksi PKS, Hartono, turut menyampaikan kekhawatiran serupa. Ia menyoroti minimnya komunikasi Pemkot dalam mengedukasi publik tentang kebijakan penataan ini.

“Pemerintah harus gunakan narasi yang bijak. Jangan sampai penataan ini justru menciptakan masalah baru. Pelayanan publik tidak boleh terganggu, meskipun satu detik,” tegas Hartono.

DPRD menegaskan akan terus mengawasi proses penataan ini, termasuk memastikan bahwa tidak ada intervensi politik atau penggantian pegawai demi kepentingan kelompok tertentu. Mereka mendesak Pemkot untuk membuka data, melakukan sosialisasi transparan, dan menjamin tidak ada layanan publik yang terganggu.

“Jangan sampai yang kita sebut penataan birokrasi justru mengorbankan pelayanan dan memicu keresahan sosial, kita juga harus pastikan ini kalau yang keluar ini benar-benar dikasih keluar bukan untuk masukkan pegawai baru,” tutup Hartono.

Sementara itu, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, angkat bicara terkait polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan tenaga honorer atau Laskar Pelangi di lingkungan Pemerintah Kota Makassar.

Munafri menegaskan bahwa tidak ada PHK massal yang dilakukan oleh pemerintah kota. Menurutnya, langkah penataan ini semata-mata merupakan implementasi dari regulasi nasional yang mewajibkan penyesuaian status kepegawaian.

“Apa yang harus diributkan? Aturannya sudah jelas. Ini bukan PHK, tapi penegakan aturan. Saya harap yang menyebut program 100 hari saya hanya soal PHK bisa memahami konteksnya,” tegas Munafri.

Ia menekankan bahwa semestinya semua elemen masyarakat turut mengawasi dan menelusuri bagaimana bisa sekitar 3.000 honorer direkrut tanpa mekanisme yang sesuai regulasi.

“Kalau tetap kita pertahankan, artinya kita sengaja membiarkan pelanggaran terhadap aturan pemerintah pusat. Ini bukan sekadar soal pegawai, ini soal komitmen terhadap tata kelola yang benar,” ujarnya.

Munafri juga menyoroti beban anggaran daerah jika tenaga honorer tanpa kejelasan legalitas tetap digaji dari APBD. Ia mempertanyakan urgensi mempertahankan sistem yang justru berpotensi merugikan keuangan daerah.

“Coba bayangkan, apa iya kita harus bayarkan gaji tanpa dasar yang sah? Berapa besar anggaran kita yang tersedot hanya karena membiayai hal-hal yang tidak sesuai aturan?” katanya.

Ia meminta publik untuk melihat lebih dalam akar persoalan, termasuk siapa pihak yang terlibat dalam proses perekrutan tenaga non-ASN yang tidak sesuai jalur resmi.

“Harusnya yang kita kontrol itu, kenapa bisa terjadi? Siapa yang meloloskan? Siapa yang proses sampai bisa berjalan? Itu yang perlu diungkap,” tutupnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news