
KabarMakassar.com — Pemilu di Indonesia dipastikan akan mengalami perubahan besar mulai tahun 2029. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pelaksanaan pemilihan umum harus dipisahkan antara tingkat nasional dan lokal.
Pemilu nasional akan mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta DPD. Sementara itu, pemilu lokal akan meliputi pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, pemilu lokal tidak bisa digelar bersamaan dengan pemilu nasional. MK menetapkan jarak waktu pelaksanaan pemilu lokal paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden serta anggota DPR dan DPD hasil pemilu nasional. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat, sesuai amanat konstitusi. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah wajib menyesuaikan regulasi melalui perubahan Undang-undang Pemilu dan Pilkada.
Kendati demikian, langkah konkret dari DPR, terutama Komisi II yang membidangi urusan kepemiluan, belum langsung diambil. Komisi ini justru masih dalam tahap pembahasan internal dan lintas lembaga, termasuk melakukan kajian hukum atas dampak sistemik putusan MK.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, menyatakan bahwa perubahan tersebut tidak sesederhana mengubah dua undang-undang saja. Menurutnya, putusan MK ini memiliki implikasi luas terhadap berbagai peraturan lain yang menyangkut struktur pemerintahan dan sistem politik daerah.
“Kami pada prinsipnya siap melakukan perubahan, tetapi tidak bisa tergesa-gesa. Karena selain UU Pemilu dan Pilkada, setidaknya ada empat hingga lima undang-undang lain yang harus dikaji ulang. Termasuk UU Pemerintahan Daerah, UU Otonomi Khusus, dan UU Partai Politik,” ujar Dede Selasa (01/07).
Dede mencontohkan, dalam skema otonomi khusus seperti di Papua dan Aceh, terdapat entitas politik khusus seperti DPRK yang juga akan terdampak bila pemilu lokal dipisahkan. Ia menegaskan bahwa perubahan semacam ini membutuhkan kehati-hatian dan pendekatan akademik, serta konsultasi luas antar lembaga.
Langkah awal pembahasan telah dimulai. Pagi hari sebelum pernyataan Dede, DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu telah menggelar rapat bersama. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan dihadiri oleh Wakil Ketua DPR lainnya yaitu Adies Kadir, Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Saan Mustopa. Turut hadir Ketua Komisi III Habiburokhman, Ketua Badan Legislasi (Baleg) Bob Hasan, serta Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia.
Dari unsur pemerintah, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, Mendagri Tito Karnavian, Mensesneg Prasetyo Hadi, Wamendagri Bima Arya Sugiarto, dan Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto hadir dalam rapat. Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin juga turut memberikan masukan dalam pertemuan tersebut.
Menurut Dede, rapat juga melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti Perludem, yang selama ini aktif mengawal isu reformasi sistem pemilu.
“Kami membahas berbagai peninjauan, termasuk asal-usul gugatan yang menjadi dasar putusan MK ini. Bahkan perdebatan dalam rapat tadi cukup panjang, karena sebenarnya wacana pemisahan pemilu ini sudah muncul sejak putusan MK 2019,” kata Dede.
Yang dimaksud Dede adalah Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang pernah memberikan enam opsi keserentakan Pemilu kepada DPR dan pemerintah. Namun dalam putusan terbaru, MK justru memutuskan skema tunggal, yakni pemisahan antara pemilu nasional dan lokal.
“Sekarang posisi MK sudah memfinalkan pemisahan ini, dan kalau pemilu lokal ditunda dua tahun atau lebih, berarti akan ada perpanjangan masa jabatan kepala daerah maupun DPRD. Ini akan berdampak pada tatanan pemerintahan daerah secara menyeluruh,” ujar Dede.
Meski putusan MK dianggap mengikat, Dede mengungkapkan bahwa masih terbuka kemungkinan untuk menyesuaikan pelaksanaannya tanpa harus langsung merevisi Undang-undang secara menyeluruh. Ia menyebut bahwa berbagai rekayasa hukum bisa dilakukan, misalnya melalui penyesuaian administratif atau penyusunan peraturan pelaksana yang bersifat sementara.
“Jadi banyak opsi yang sedang dikaji. Tidak semua harus ditempuh lewat revisi Undang-undang. Kami masih menunggu hasil kajian akademis dari badan keahlian DPR,” jelas Dede.
Menurutnya, arahan dari pimpinan DPR juga jelas, bahas dulu secara teknis dan yuridis, baru kemudian dibawa dalam rapat konsultasi pembinaan antar lembaga dan komisi.
“Kami belum bisa memastikan kapan perubahan itu akan dilakukan, karena semuanya masih dalam tahap awal. Yang jelas, ini bukan keputusan yang bisa diambil cepat,” tutup Dede.