
KabarMakassar.com — DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Konsumen tengah menggodok pembaruan regulasi untuk memperkuat hak-hak masyarakat sebagai konsumen.
Anggota Komisi VI DPR RI Ismail Bachtiar, menekankan pentingnya penyempurnaan pasal-pasal dalam RUU guna menjawab berbagai persoalan aktual yang dialami konsumen.
Menurut legislator Fraksi PKS itu, revisi regulasi tidak hanya menyasar persoalan klasik terkait produk dan jasa, tetapi juga untuk merespons maraknya kasus pelanggaran yang merugikan konsumen. Ia mencontohkan sejumlah insiden yang baru-baru ini terjadi di berbagai daerah.
“Beberapa waktu lalu ada pasien yang mengalami kebutaan setelah mencabut gigi di Sumatera Barat. Di Jawa Barat, kendaraan konsumen terbakar. Bahkan di daerah pemilihan saya, Makassar, pelaku produksi skincare bermerkuri hanya dihukum 10 bulan,” ungkap Ismail, Kamis (10/07).
“Hal-hal seperti inilah yang mendorong kami merevisi UU Perlindungan Konsumen agar lebih kuat dan berpihak.” Tambahnya.
Ismail menjelaskan bahwa meskipun RUU ini berjudul ‘Perlindungan Konsumen’, proses pembahasannya tetap melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk produsen dan asosiasi industri. Ia menyebut pentingnya mendengarkan masukan dari para pelaku usaha karena posisi mereka berada dalam rantai produksi yang langsung berhubungan dengan konsumen.
Salah satu isu krusial yang dibahas dalam rapat Panja adalah keterbatasan media informasi pada produk farmasi. Merespons masukan dari GP Farmasi Indonesia terkait keterbatasan ruang pada kemasan obat, Ismail menekankan bahwa teknologi digital dapat menjadi solusi utama.
“Saya kira tidak sulit. Sekarang sudah ada platform seperti Alodokter, tempat masyarakat bisa mengakses informasi kesehatan secara lengkap. Di sektor farmasi, pendekatan serupa bisa digunakan untuk menjawab keterbatasan ruang pada kemasan,” ujarnya.
Ia menyarankan agar asosiasi farmasi mulai merancang sistem informasi digital yang memungkinkan konsumen mengakses informasi detail mengenai kandungan, efek samping, dan cara penggunaan produk.
“Seperti saat kita ke toko buku, cukup scan sistem digital untuk dapatkan ringkasan isi buku. Itu bisa diadaptasi di farmasi agar konsumen merasa terlindungi secara informasi,” ujarnya mencontohkan.
Selain sektor kesehatan, Ismail juga menanggapi kritik dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) terkait Pasal 5 dalam draf RUU, yang mengatur bahwa proses produksi adalah bagian dari hak akses konsumen. Ia menilai bahwa transparansi terhadap output produksi seperti kualitas dan keamanan produk adalah hal yang wajar.
“Kegiatan produksi memang internal perusahaan. Tapi ketika produk sudah di tangan konsumen, standar kualitas dan keamanan harus dijamin. Misalnya air mineral dalam kemasan (AMDK), banyak terjadi promosi yang saling menyerang antarprodusen, dengan narasi seolah produk lain tidak higienis hanya karena perbedaan jenis kemasan,” jelasnya.
Ia menilai praktik seperti itu dapat menyesatkan dan berpotensi merugikan konsumen secara psikologis maupun ekonomis. Oleh karena itu, DPR melalui Panja berupaya memperjelas batasan yang adil antara hak produsen dan perlindungan konsumen.
Ismail menekankan bahwa seluruh masukan yang disampaikan oleh asosiasi akan menjadi catatan penting bagi Panja RUU Perlindungan Konsumen. Ia berharap proses penyusunan undang-undang ini bisa menghasilkan regulasi yang tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga menciptakan iklim usaha yang sehat dan transparan.
“Kami sangat berterima kasih atas seluruh masukan yang disampaikan. Insya Allah, semua ini akan menjadi bagian penting dari pembahasan lanjutan di Panja. Tujuan akhirnya adalah perlindungan yang seimbang dan berpihak pada keadilan,” pungkasnya.