KabarMakassar.com — Puluhan emak-emak yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Menolak Lokasi PLTSa (GERAM PLTSa) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Balaikota Makassar, Selasa (19/08).
Mereka menyuarakan penolakan keras terhadap rencana pembangunan fasilitas Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL/PLTSa) yang direncanakan berdiri di kawasan Grand Eterno, Jalan Ir. Sutami, Kecamatan Tamalanrea.
Dalam aksinya, para peserta membawa spanduk besar bertuliskan “Menolak” dengan penegasan bahwa pimpinan, guru, orang tua, serta siswa SMA Negeri 6 Makassar menolak pembangunan PSEL di dekat sekolah mereka.
Mereka menilai, proyek ini berpotensi mengganggu proses belajar mengajar karena menimbulkan risiko pencemaran dan bahaya kesehatan.
“Kami datang untuk menolak lokasi PLTSa yang jelas-jelas berada di sekitar lingkungan padat penduduk dan dekat sekolah. Bayangkan dampaknya, bukan hanya untuk anak-anak kami, tapi juga seluruh masyarakat,” tegas Hj. Hardia, salah satu orator dari warga Mula Baru.
Aksi yang didominasi emak-emak ini mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Sejumlah guru, siswa, hingga warga dari beberapa perumahan di Tamalanrea, seperti Mula Baru, Tamalalang, Alamanda, dan Akasia, turut hadir menyuarakan penolakan.
Warga menilai rencana pembangunan PSEL yang dikelola PT. SUS tidak layak dibangun di tengah pemukiman padat. Teknologi insinerator yang digunakan dianggap menimbulkan risiko pencemaran udara, pencemaran sumber air, serta penurunan kualitas hidup masyarakat.
“Kalau jadi dibangun, rumah saya akan bersebelahan dengan lokasi pembangunan. Ini sangat tidak layak, karena yang akan menanggung dampaknya kami, bukan orang-orang di kantor,” ungkapnya.
Mereka menyoroti bahaya emisi dari proses pembakaran sampah, seperti PM 2,5, dioksin, dan furan, yang dikenal bersifat karsinogenik dan dapat memicu kanker, gangguan hormon, kerusakan sistem kekebalan tubuh, hingga masalah reproduksi.
Selain itu, zat berbahaya ini sulit terurai dan bisa menetap lama di udara, tanah, bahkan masuk ke rantai makanan.
Selain faktor kesehatan dan lingkungan, warga juga mengkritisi skema pembiayaan proyek. Menurut mereka, pembangunan PSEL berpotensi membebani keuangan daerah melalui tipping fee yang harus dibayarkan Pemkot kepada operator selama masa operasi 20-30 tahun.
“Komitmen anggaran ini jelas mengikat APBD lintas kepemimpinan. Seharusnya anggaran sebesar itu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya menguntungkan PT. SUS,” ujarnya dalam orasi.
Lewat aksi ini, emak-emak GERAM PLTSa mendesak Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin dan jajaran Pemkot untuk mencabut rencana pembangunan PSEL di Tamalanrea dan mencari solusi pengelolaan sampah yang lebih aman, ramah lingkungan, serta tidak membahayakan masyarakat sekitar.
“Kami tidak menolak pengelolaan sampah, tapi kami menolak lokasinya. Jangan jadikan anak-anak kami dan warga sekitar sebagai korban dari proyek yang jelas berisiko tinggi ini,” teriak massa aksi di depan Balaikota.
Hingga aksi berakhir, emak-emak terus berorasi sambil menegaskan bahwa perjuangan mereka akan berlanjut jika Pemkot tetap bersikeras melanjutkan proyek PSEL di Tamalanrea.
Sebelumnya, Salah satu warga dari Perumahan Alamanda, Kecamatan Tamalanrea, Dadang Anugrah, memberikan penjelasan rinci mengenai lokasi proyek dan ancaman pencemaran yang akan timbul jika pembangunan tetap dilanjutkan.
Menurut Dadang, lokasi pembangunan PLTSa yang direncanakan berada sangat dekat dengan permukiman warga, bahkan hanya sekitar 20 meter dari rumah-rumah penduduk di Perumahan Alamanda, Mula Baru, dan Tamalalang.
Dalam paparan visualnya kepada dewan, Dadang menunjukkan peta wilayah dan titik pembangunan yang tepat berada di sekitar pertigaan tol menuju FKS Talasacity.
“Ini bukan asumsi. Kami sudah melihat sendiri rencana pembangunannya. Lahan kosong di sekitar kami akan dijadikan penuh sebagai lokasi pabrik pengolahan sampah,” ungkap Dadang, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi C DPRD Kota Makassar bersama Dinas Lingkungan Hidup, Rabu (06/08).
Berdasarkan referensi dan informasi yang diperoleh warga dari pihak pengembang, fasilitas PLTSa tersebut akan dilengkapi dengan cerobong asap dari proses pembakaran sampah.
Cerobong itu diperkirakan memancarkan polusi dalam radius hingga satu kilometer, yang mencakup kawasan perumahan, sekolah, kantor pemerintahan, dan jalur aktivitas ekonomi warga.
“Kalau ditarik garis dari titik lokasi, radius satu kilometer itu meliputi SMA Negeri 6 Makassar yang siswanya hampir seribu, juga ada TK dan SD. Jaraknya cuma 300 meter dari pabrik. Kantor lurah juga cuma 500 meter. Bayangkan, anak-anak kita setiap hari akan terpapar asap,” kata Dadang.
Ia juga menyebut dampak lainnya yang dirasa sangat mengkhawatirkan adalah pencemaran sumber air. Hampir seluruh warga di kawasan tersebut menggunakan sumur bor sebagai sumber air bersih.
Potensi pencemaran air tanah akibat rembesan limbah dari pabrik, terutama saat hujan, menjadi ancaman nyata.
“Kami ini dobel risikonya. Udara tercemar, air pun bisa tercemar. Mayoritas warga pakai sumur bor. Kalau air tanahnya terkontaminasi, bagaimana nasib keluarga kami?” ujarnya penuh tekanan.
Dadang menekankan bahwa penolakan warga bukan karena menolak ide pengolahan sampah secara modern. Sebaliknya, warga mendukung adanya PSEL (Pengolahan Sampah Energi Listrik), namun lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan warga sekitar.
“Kami bukan anti pembangunan. Tapi jangan bangun pabrik pengolahan sampah di tengah-tengah kampung. Ini soal nyawa, soal masa depan anak-anak kami,” tegasnya.