Fenomena Lari dan Bahaya di Balik Tren FOMO, Dokter Peringatkan Risiko Overtraining

2 weeks ago 16
Fenomena Lari dan Bahaya di Balik Tren FOMO, Dokter Peringatkan Risiko Overtraining Ilustrasi olahraga lari (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Olahraga lari kini menjelma menjadi salah satu gaya hidup paling populer di Indonesia. Aktivitas fisik ini digandrungi oleh masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari selebritas hingga masyarakat umum, karena sifatnya yang fleksibel, mudah dilakukan kapan saja dan di mana saja, serta tidak membutuhkan keahlian khusus.

Tren ini tumbuh seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan kebugaran jasmani. Namun, di balik maraknya tren lari, muncul fenomena sosial yang juga turut mencuat, Fear of Missing Out (FOMO).

FOMO bukan hanya soal mengikuti gaya hidup atau tren sosial, tapi kini juga hadir dalam dunia olahraga. Banyak orang mulai berlari bukan semata-mata demi kesehatan, melainkan karena dorongan ingin tampil, diakui, atau sekadar tidak ingin merasa tertinggal dari teman-temannya.

Fenomena ini semakin diperkuat dengan maraknya aplikasi berbagi aktivitas olahraga seperti Strava, yang menampilkan jarak tempuh, kecepatan, dan rute lari para penggunanya.

Namun, sebagian orang memanfaatkan teknologi ini secara tidak sehat, seperti dengan menyewa jasa ‘joki Strava’, yakni orang lain yang dibayar untuk berlari menggunakan akun milik penyewa. Tujuannya? Memperoleh pujian, pengakuan, atau sekadar konten media sosial.

Dokter sekaligus influencer kesehatan, dr. Tirta, ikut menyoroti fenomena ini melalui akun Instagram pribadinya. Menurutnya, FOMO dalam olahraga memang bisa menjadi pemicu awal yang baik untuk memulai hidup sehat, namun tetap harus dikritisi.

“FOMO olahraga, oh ya bagus banget, karena melatih orang untuk hidup sehat. Tapi ada yang harus dipahami dan dikritisi,” kata dr. Tirta.

Senada dengan itu, dr. Antonius Andi Kurniawan, Spesialis Kedokteran Olahraga dari Rumah Sakit Pondok Indah – Bintaro Jaya, mengingatkan bahwa olahraga semestinya dijalankan secara bijak, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan tubuh masing-masing.

Ia menyebut, olahraga yang baik dilakukan minimal 30 menit per hari, lima kali dalam seminggu, tergantung jenisnya.

Untuk olahraga kardio seperti jogging, bersepeda, atau jalan cepat, durasi 30 menit sudah cukup efektif. Latihan otot seperti push-up, sit-up, dan squat idealnya dilakukan 2–3 kali per minggu, sedangkan latihan fleksibilitas seperti yoga bisa dilakukan setiap hari untuk menjaga kelenturan tubuh.

Namun, Andi memberi catatan penting. Salah satu kesalahan fatal dalam tren olahraga berbasis FOMO adalah kecenderungan memaksakan diri.

Ia menyebut, overtraining tanpa pemahaman kondisi tubuh bisa berujung pada risiko serius seperti heatstroke, khususnya saat mengikuti lomba lari jarak jauh di cuaca panas tanpa hidrasi cukup.

“Ada yang olahraga cuma untuk tren, untuk FOMO, atau pamer di media sosial. Padahal kalau tidak sesuai kemampuan, itu berbahaya, bisa saja berujung pada kematian akibat dehidrasi dan kelelahan ekstrem,” tegasnya.

Andi juga mengimbau agar masyarakat tidak melupakan elemen penting lainnya dalam hidup sehat, yaitu nutrisi seimbang. Asupan seperti buah, sayur, dan makanan tinggi protein sangat penting dalam mendukung aktivitas fisik yang optimal.

Lebih jauh, ia menyampaikan harapannya agar pemerintah lebih gencar dalam meningkatkan literasi olahraga kepada masyarakat luas. Edukasi tentang manfaat olahraga yang benar, risiko overtraining, serta pentingnya tujuan personal dalam berolahraga dinilai sangat krusial di tengah gempuran tren media sosial.

“Olahraga itu bukan soal pride atau posting di Instagram. Tujuan olahraga adalah menjaga kesehatan, bukan validasi sosial. Mari olahraga sesuai kebutuhan, agar tidak obesitas, dan bisa menikmati usia yang lebih panjang,” pesannya.

Fenomena lari dan FOMO memang bisa menjadi awal yang baik, asalkan dilakukan secara sadar, bijak, dan bertanggung jawab. Menjadikan lari sebagai bagian dari rutinitas harian, bukan sekadar tren sesaat, akan jauh lebih berdampak pada kebugaran jangka panjang. FOMO boleh, asalkan tetap kenali batas kemampuan diri.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news