
KabarMakassar.com — Nama Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Selatan, Taufan Pawe (TP), jadi sorotan publik setelah dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi di Dinas Kesehatan Kota Parepare.
Meski belum ada penetapan status hukum, mencuatnya kasus ini disebut sebagai bagian dari manuver politik yang sengaja digulirkan menjelang Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sulsel.
Pengamat politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, menilai kemunculan isu ini bukan kebetulan semata, melainkan upaya terstruktur untuk meruntuhkan kredibilitas TP sebagai calon kuat dalam kontestasi Musda Golkar Sulsel.
“Isu ini jelas strategi delegitimasi. Taufan Pawe dikenal memiliki basis dan pengaruh kuat di DPC-DPC kabupaten/kota. Maka menjelang Musda, cara paling efektif untuk menjegalnya adalah menciptakan keraguan publik terhadap integritasnya,” ujar Ali melalui saluran telpon, Rabu (16/07).
Ali menegaskan, sekalipun kasus dugaan korupsi di Parepare memiliki substansi hukum, publikasi yang masif tanpa status hukum yang jelas dapat menciptakan persepsi keliru di kalangan pemilih internal Golkar.
“Kasusnya memang ada, tapi statusnya belum ditetapkan. Celah inilah yang kemudian dimainkan menjadi isu politik,” tambahnya.
Menurutnya, ketidakjelasan status TP akan berdampak langsung pada loyalitas pemilih di tingkat bawah. Banyak kader dan DPD kabupaten/kota yang mulai bersikap mengambang, menunggu kepastian hukum atau arah angin politik.
Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh calon-calon lain seperti Ilham Arief Sirajuddin (IAS) dan Munafri Arifuddin (Appi) untuk menggarap dukungan dari kelompok yang mulai ragu terhadap TP.
“Ketiganya IAS, Appi, dan TP saat ini berada di posisi yang relatif seimbang. Tidak ada yang benar-benar dominan. Maka strategi perang opini seperti ini sangat menentukan,” jelas Ali.
Ia menilai IAS memiliki rekam jejak dan jejaring politik yang kuat, namun karena baru kembali aktif dan belum lama bergabung ke tubuh Golkar, dukungannya masih belum solid.
Sementara Appi dinilai sebagai figur baru dengan relasi cukup baik, namun belum mengakar secara struktural di DPD.
“Appi baru beberapa tahun di Golkar. Walaupun dia punya kekuatan logistik dan akses politik, tapi di internal DPD, posisinya belum terlalu kokoh,” ujarnya.
Di sisi lain, Taufan Pawe (TP) dinilai masih unggul dalam hal struktur dan pengalaman organisasi. Ia masih memegang kendali atas mesin partai di berbagai daerah, namun mulai digoyang oleh isu hukum dan opini publik.
“Golkar memang kalah di beberapa wilayah, tapi jumlah kursi sebenarnya tetap. Yang naik justru partai lain seperti NasDem. Tapi kondisi ini tetap dijadikan alat serangan balik untuk mendeligitimasi TP sebagai ketua,” kata Ali.
Menurutnya, narasi kegagalan dan isu korupsi yang terus didorong berpotensi menimbulkan persepsi bahwa TP adalah beban elektoral, sekalipun secara fakta belum terbukti.
“Inilah yang membuat posisinya makin mengambang. Dan pengambangan ini justru menguntungkan lawan-lawan politiknya,” ucapnya.
Ali pun meyakini, isu ini bukan murni hasil dari dinamika hukum, melainkan muncul karena tekanan politik internal menjelang Musda.
“Yang menghembuskan isu ini kemungkinan besar dari kalangan internal juga. Ini permainan politik yang sudah biasa dalam kontestasi elite,” tegasnya.
Dengan kondisi ini, Musda Golkar Sulsel diprediksi akan berlangsung sengit dan tanpa dominasi mutlak dari salah satu kandidat.
Tiga figur utama akan bersaing memperebutkan dukungan dengan modal dan pendekatan berbeda, namun sama-sama berpotensi menang jika berhasil merebut suara-suara mengambang.
“Bisa jadi Musda kali ini tidak hanya jadi pertarungan program, tapi juga pertarungan narasi dan persepsi. Siapa yang bisa mengelola isu dan memulihkan citra, dialah yang akan memimpin Golkar Sulsel ke depan,” tutup Ali.