KabarMakassar.com — Maraknya pembangunan gedung tanpa izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Kota Makassar mendapat sorotan serius dari kalangan pengamat konstruksi.
Pengamat konstruksi, Ardy Arsad menilai lemahnya kepatuhan terhadap regulasi menjadi ancaman terhadap keselamatan bangunan dan tata kota yang berkelanjutan.
Ia menegaskan bahwa seluruh proses pembangunan di perkotaan wajib tunduk pada ketentuan PBG sebagaimana diatur dalam undang-undang. Ia menyebut bahwa izin PBG bukan sekadar formalitas, melainkan syarat legalitas yang mencakup aspek keselamatan, kelayakan fungsi, dan ketertiban lingkungan.
“PBG itu wajib hukumnya. Kalau ada bangunan yang berdiri tanpa izin, berarti itu sudah jelas melanggar aturan,” tegas Ardy, Selasa (17/06).
Menurutnya, perubahan sistem dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ke PBG harus dipahami oleh seluruh masyarakat, termasuk pelaku usaha dan pemilik properti pribadi.
Ia menggarisbawahi bahwa PBG memiliki cakupan yang lebih luas dibanding IMB sebelumnya, termasuk adanya kewajiban keterlibatan konsultan dan arsitek profesional.
“Kalau dulu kita kenal IMB yang relatif lebih longgar, sekarang dengan PBG, semua proses lebih ketat. Bahkan rumah tinggal pun tidak bisa sembarangan dibangun tanpa keterlibatan tenaga ahli,” ujarnya.
Ardy mendukung langkah pemerintah untuk menyegel bangunan tanpa izin, namun ia juga mengingatkan agar pendekatan yang digunakan tidak hanya represif, tetapi juga edukatif.
Menurutnya, penyegelan memang perlu, namun harus dibarengi dengan peningkatan sosialisasi dan layanan pendampingan.
“Penegakan hukum itu perlu. Tapi masyarakat juga butuh dibimbing. Pemerintah harus hadir untuk menjelaskan aturan ini, terutama bagi mereka yang belum memahami proses pengajuan PBG,” tambahnya.
Ia menilai bahwa kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan implementasi regulasi PBG.
Bukan hanya soal menindak, tapi bagaimana membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya izin pembangunan demi keamanan dan kualitas hidup warga kota.
“Penegakan aturan ini akan jauh lebih efektif jika dilakukan secara kolaboratif. Edukasi harus jalan bersamaan dengan pengawasan,” kata Ardy.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Tata Ruang Kota Makassar, Fahyuddin, menjelaskan bahwa sistem perizinan PBG saat ini telah berbasis digital, sehingga seluruh permohonan yang masuk harus lengkap secara administrasi maupun teknis.
“Kalau dokumennya tidak lengkap, sistem akan otomatis menolak. Kita tidak bisa memproses permohonan yang tidak memenuhi syarat dari awal,” ungkapnya.
Ia juga menerangkan bahwa pengurusan PBG kini melibatkan Tim Profesi Ahli (TPA) dan forum penataan ruang, terutama untuk kasus-kasus yang menimbulkan kendala teknis.
Proses ini menjadi bagian dari reformasi sistem perizinan yang lebih transparan dan profesional.
Terkait sanksi, Fahyuddin menegaskan bahwa penyegelan hanya dilakukan setelah adanya peringatan bertahap yang tidak diindahkan.
Pemerintah, kata dia, tidak serta-merta menindak tanpa memberi kesempatan pemilik bangunan untuk menyelesaikan kewajibannya.
“Kami lakukan imbauan dulu. Kalau sudah beberapa kali diperingatkan dan masih tidak digubris, baru kami lakukan penyegelan. Tujuannya bukan menghukum, tapi mengingatkan pentingnya aturan,” jelasnya.
Ia pun mengakui bahwa banyak masyarakat masih bingung dengan peralihan dari IMB ke PBG. Berbagai penyesuaian, termasuk kewajiban memakai konsultan dan arsitek, kerap menjadi kendala utama warga dalam mengurus izin.
Sebagai bentuk solusi, Dinas Tata Ruang membuka layanan informasi dan konsultasi bagi warga atau pelaku usaha yang ingin mengurus PBG.
Fahyuddin memastikan pihaknya akan terus meningkatkan kualitas pelayanan agar lebih mudah diakses dan dipahami masyarakat.
“Kami terbuka untuk siapa pun yang butuh pendampingan. Selama niatnya ingin tertib aturan, kami pasti bantu. Karena ini menyangkut keselamatan warga dan kualitas tata kota ke depan,” pungkasnya.
Sebelumnya, DPRD Kota Makassar kembali melayangkan sorotan tajam terhadap bangunan tujuh lantai yang berdiri di Jalan Bulusaraung.
Anggota Komisi C DPRD Makassar, Fasruddin Rusli, menegaskan bahwa struktur bangunan tersebut tidak layak dan berpotensi membahayakan keselamatan warga di sekitarnya.
Fasruddin yang akrab disapa Acil mengungkapkan bahwa pihaknya telah tiga kali melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi, namun aktivitas pembangunan masih terus berlangsung, meskipun sebelumnya sempat disegel.
“Kalau melihat dari konstruksinya, itu sudah sangat tidak layak untuk didirikan bangunan lagi, apalagi dengan jumlah lantai yang begitu tinggi. Rancangannya hanya untuk tiga lantai, tapi mereka paksa sampai tujuh lantai. Ini tidak masuk akal,” kata Acil, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), PTSP Kota Makassar dan Rabu (4/6/2025).
Menurutnya, bangunan tersebut berdiri di antara deretan 10 ruko yang berjajar. Salah satu bangunan justru mengalami penambahan ekstrem menjadi tujuh lantai, tanpa perhitungan teknis yang sesuai standar.
Hal itu membuat dirinya mempertanyakan kredibilitas konsultan perencana maupun pelaksana teknis bangunan tersebut.
“Waktu sidak, saya sempat emosi. Saya tanya langsung, kamu kuliah di mana? Mana konsultannya? Ini bangunan fondasinya hanya untuk tiga lantai, lalu mau dipaksa jadi tujuh lantai. Ini tidak bisa diterima logika,” ungkapnya geram.
Kekhawatiran tak hanya datang dari sisi teknis, tetapi juga dari masyarakat sekitar. Acil menyebut, beberapa warga yang tinggal dekat lokasi mengaku terganggu dan merasa terancam dengan keberadaan bangunan tersebut.
“Kalau angin kencang datang, katanya bangunan terasa goyang. Ini bisa mengancam keselamatan warga. Mereka jelas merasa dirugikan,” tegasnya.
Ia menyebut, kasus ini bukan pertama kalinya terjadi. Bangunan tersebut sebelumnya pernah disegel saat ia menjabat di periode pertamanya sebagai anggota DPRD.
Namun, aktivitas pembangunan terus berjalan secara diam-diam dan kini kembali berlanjut di periode ketiganya.
“Ini yang kami sangat sesalkan. Sudah pernah disegel, tapi tetap dibangun diam-diam. Saya sebut ‘cokko-cokko’ (sembunyi-sembunyi dalam bahasa Makassar) kembali. Ini seperti menantang aturan,” katanya.