
KabarMakassar.com — Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Muhammad Tito Karnavian, menegaskan bahwa pemerintah daerah (Pemda) diperbolehkan menggelar kegiatan pemerintahan di hotel dan restoran, selama kegiatan tersebut mendukung pelaksanaan tugas pemerintahan dan dilakukan secara efisien.
Pernyataan ini disampaikan Mendagri saat menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026 Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Hotel Lombok Raya, Rabu (04/06) lalu.
Merespons pernyataan tersebut, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyatakan bahwa pelaksanaan rapat di hotel oleh pemerintah daerah sebetulnya bersifat situasional dan sangat tergantung pada kebutuhan serta kondisi anggaran masing-masing daerah.
“Sebenarnya kalau masalah rapat itu tergantung,” ujar Munafri yang akrab disapa Appi, saat ditemui pada Minggu (15/6).
Ia menjelaskan, Pemkot Makassar sendiri pernah menyelenggarakan rapat di hotel, namun dilakukan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan keterbatasan fasilitas di kantor pemerintahan.
“Kita juga kemarin sempat rapat di hotel karena tidak punya ruangan yang bisa menampung semua peserta,” jelasnya.
Menurutnya, pilihan lokasi rapat tidak semata-mata soal kenyamanan, melainkan juga harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi anggaran. Ia mencontohkan pelaksanaan Musrenbang RPJMD Kota Makassar yang dilakukan di Karebosi, sebagai bagian dari strategi penghematan anggaran dan pemanfaatan ruang publik yang representatif.
“Kalau kita bergeser ke tempat lain, tetap akan ada biaya. Jadi kita pertimbangkan betul, termasuk saat rapat RPJMD kemarin yang kita laksanakan di Karebosi,” tambahnya.
Sebelumnya, keputusan tersebut juga disambut baik oleh Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan menyambut
“Ini menjadi sebuah kabar sangat dinantikan oleh seluruh industri, hotel dan restoran. Secara khusus PHRI Sulsel menyambut baik,” kata Ketua PHRI Sulsel, Anggiat Sinaga kepada wartawan, Rabu (11/06).
Menurut Anggiat setelah adanya izin dari Mendagri terkait pemda dan provinsi bisa menggelar kegiatan di hotel serta di restoran akan membawa perputaran ekonomi yang lebih baik.
“Hilal kebangkitan semakin terlihat untuk bisa ekonomi dan okupansi bergerak lebih lebih baik,” ungkapnya.
Anggiat menerangkan bahwa dampak efisiensi tingkat hunian hotel dan restoran yang ada di Sulawesi Selatan hanya mencapai sekitar 28 persen, sehingga memaksa pengelola hotel untuk bisa mengatur dan mengendalikan biaya operasional.
“Memaksa manajemen untuk bisa mengendalikan biaya, kondisi biaya yang sangat signifikan untuk mengoperasikan hotel adalah karyawan. Sehingga banyak hotel-hotel yang merumahkan atau tidak memperpanjang kontrak pegawainya hingga menimbulkan persoalan baru,” jelasnya.
Anggiat menyebutkan bahwa sekitar 40 hingga 50 persen segmentasi keterisian hotel di Sulsel adalah kegiatan dari pemerintah.
“Jadi ketika 40 sampai 45 persen (kegiatan pemerintah) terhenti, maka kita betul-betul merasakan sesuatu yang sangat sangat sedih,” tuturnya.