KabarMakassar.com — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan meluncurkan layanan Bus Trans Sulsel, di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), beberapa waktu lalu.
Pada Senin sore, 14 Juli 2025, KabarMakassar berkesempatan menjajal langsung Bus Trans Sulsel Koridor I yang menghubungkan Panakkukang Square, Makassar hingga Pelabuhan Galesong, Takalar.
Moda transportasi yang digadang-gadang menjadi solusi kemacetan di kawasan Mamminasata ini, kini memasuki masa adaptasi dengan layanan gratis dan subsidi Rp16 miliar dari Pemprov Sulsel hingga akhir 2025. Namun, di balik kemegahan bus biru tosca itu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) khususnya di sisi edukasi dan kepastian layanan.
Pada saat itu, Kabar Makassar tiba di halte Panakkukang Square pukul 16.10 WITA, bus tampak terparkir rapi. Salah satunya bersiap berangkat. Meski hanya diisi tiga penumpang, termasuk jurnalis KabarMakassar, bus tetap melaju sesuai jadwal sebuah langkah disiplin yang patut diapresiasi dalam budaya transportasi publik yang masih tumbuh.
Memasuki bus, tampak fasilitas interior yang bersih dan tertata baik. Ada 20 seat bus atau kursi penumpang berwarna biru, dan 3 kursi merah sebagai kursi prioritas di bagian depan. Seluruh kursi dilengkapi sabuk pengaman, sementara area tengah dirancang bagi penumpang berdiri. Spot khusus pengguna kursi roda juga tersedia di bagian tengah dekat pintu.
Sementara di bagian atas bus tampak pegangan tangan gantung berwarna oranye untuk penumpang berdiri. Terdapat juga stiker peringatan dan larangan, seperti larangan merokok, membawa binatang, serta imbauan untuk mengawasi barang bawaan.
Meski sore itu cuaca panas dan lalu lintas padat, kenyamanan tetap terjaga berkat penyejuk udara yang bekerja optimal. Di dalam bus, juga tersedia CCTV dan kotak P3K penanda standar keselamatan yang mulai diterapkan.
Sepanjang rute, bus melintasi lebih dari 15 jalan besar, termasuk Jalan Pettarani, Sungai Saddang Baru, Lanto Daeng Pasewang, hingga CPI dan Jalan Metro Tanjung Bunga. Meski awalnya sepi, jumlah penumpang perlahan bertambah. Beberapa bahkan terpaksa berdiri dan duduk di tangga bus. Di sinilah potensi Trans Sulsel mulai terasa.
Suasana dalam bus Trans Sulsel tampak padat oleh penumpang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Hampir semua tempat duduk terisi, dan beberapa penumpang terlihat berdiri di bagian tengah bus. Penumpang duduk berhadapan, menunjukkan tata letak kursi yang dirancang untuk efisiensi ruang.
Pencahayaan matahari sore masuk dari jendela kiri bus, menyoroti sebagian wajah penumpang. Mereka tampak santai namun waspada, beberapa berbincang, lainnya sibuk dengan anak kecil atau barang bawaannya.
Perjalanan KabarMakassar mengunakan bus Trasn Sulsel cukup seruh, hingga berlanjut turun di halte Tanjung Bunga. Namun, saat hendak kembali ke Panakkukang Square dari halte Hotel Colonial, tantangan mulai terasa. Jarak antarhalte cukup jauh, dan untuk mencapainya, KabarMakassar harus menyeberang jalan besar dan berjalan kaki selama 17 menit, jika memilih menggunakan kendaraan roda dua memakan waktu 4 menit.
Tiba di halte Hotel Colonial, penantian berlangsung hingga 30 menit. Hanya dua bus melintas selama itu, dan hanya satu yang berhenti. Sayangnya, meski disebut halte, tidak ada bangunan fisik di sana. Penumpang hanya bisa berdiri di trotoar, atau duduk seadanya tanpa tempat duduk resmi.
“Sepertinya memang cuma halte bayangan,” ujar Rawi (33) salah satu penumpang yang juga berada di halte hotel Colonial.
Bus yang akhirnya tiba tampak lebih penuh. Beberapa penumpang berdiri, bahkan membawa banyak barang bawaan indikasi bahwa layanan lintas kabupaten ini mulai digunakan warga dari Takalar. Namun, persoalan edukasi muncul.
“tabe pak (izin dalam bahasa Makassar) saya mau turun disini,” ujar seorang penumpang yang sudah lansia.
“Tabe pak saya turun disini, ini sudah lewat,” tambahnya lagi.
“Maaf pak, itu belum halte masih didepan, saya bisa kena tegur kalau sembarangan berhenti,” jelas Sopir bus.
“Tidak bisa berhenti kalau bukan haltenya pak,” kata penumpang lain berusaha menjelaskan.
Pernyataan itu menegaskan persoalan mendasar, kurangnya sosialisasi soal aturan naik-turun, sistem halte, dan rute. Penumpang masih harus mencari sendiri lokasi halte, dan belum paham etika serta sistem layanan yang berbeda dari angkutan konvensional.
Bahkan KabarMakassar harus melihat rute Trans Sulsel Koridor I di Instagram milik Dinas Perhubungan (Dishub) Sulsel untuk bisa mengetahui halte bus selanjutnya.
Sementara layanan Trans Sulsel Koridor I dan II masih digratiskan, tantangan selanjutnya terletak pada perbaikan jadwal, penambahan bus, dan edukasi berkelanjutan. Tanpa itu, antusiasme di awal bisa cepat meredup, dan bus berisiko hanya menjadi pelengkap tanpa fungsi signifikan dalam mengubah budaya transportasi.
Sebagai angkutan publik pertama yang menjangkau lintas kabupaten di Sulawesi Selatan, Trans Sulsel membawa harapan besar. Namun harapan itu harus disertai kerja sistematis mulai dari penambahan halte fisik, jadwal yang teratur, hingga layanan informasi publik yang jelas.
Di tengah padatnya lalu lintas Makassar–Takalar, bus Trans Sulsel berpotensi menjadi tulang punggung baru mobilitas publik. Tapi untuk itu, warga butuh lebih dari sekadar fasilitas, mereka butuh kepastian, kenyamanan, dan informasi yang mudah diakses. Sebab dalam perjalanan panjang menuju transportasi yang ideal, bus yang bagus saja belum cukup.