KabarMakassar.com — Fenomena penyebaran mikroplastik kini kian mengkhawatirkan.
Tak hanya ditemukan di laut dan bahan makanan, partikel plastik berukuran sangat kecil itu kini juga terdeteksi dalam air hujan. Temuan ini diungkapkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang meneliti sampel air hujan di wilayah Jakarta.
Peneliti BRIN menjelaskan, partikel mikroplastik yang sebelumnya berasal dari daratan dan laut dapat terbawa angin hingga ke atmosfer, kemudian turun kembali bersama air hujan. Fakta ini memperlihatkan bahwa mikroplastik telah menjadi bagian dari siklus alam dan menyebar hampir di seluruh elemen lingkungan udara, tanah, dan air.
Mikroplastik sendiri didefinisikan sebagai partikel plastik berukuran kurang dari lima milimeter hingga satu mikrometer. Berdasarkan sumbernya, mikroplastik terbagi menjadi dua jenis. Pertama, mikroplastik primer, yaitu partikel kecil yang memang dibuat dari awal, seperti microbeads pada produk kosmetik atau pembersih wajah. Kedua, mikroplastik sekunder, yaitu hasil pecahan dari plastik berukuran besar, seperti kantong plastik, botol air mineral, hingga jaring nelayan yang rusak.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan RI, Aji Muhawarman, menegaskan bahwa keberadaan mikroplastik di air hujan tidak serta merta membuat air hujan menjadi berbahaya untuk kesehatan. Namun, fenomena ini menurutnya merupakan sinyal kuat bahwa partikel plastik telah tersebar luas di udara.
“Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji, Minggu (02/11).
Menurut sejumlah penelitian global, manusia dapat terpapar mikroplastik melalui dua jalur utama makanan dan udara. Mikroplastik dapat ditemukan dalam air minum dalam kemasan, garam laut, hingga seafood, sementara di udara, partikel itu bisa terhirup dari serat sintetis pakaian, debu jalanan, dan polusi perkotaan.
Beberapa riset menunjukkan bahwa paparan jangka panjang mikroplastik dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan peradangan jaringan tubuh. Selain itu, bahan kimia yang menempel pada plastik seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates diketahui dapat mengganggu sistem hormon, kesuburan, dan perkembangan janin.
Kendati demikian, hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mikroplastik secara langsung menyebabkan penyakit tertentu pada manusia. Tingkat paparannya dalam kehidupan sehari-hari dinilai masih relatif rendah, namun para ahli menegaskan perlu dilakukan pengawasan dan penelitian lanjutan untuk mengetahui dampak jangka panjangnya.
Sebagai langkah mitigasi, Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat agar mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan tidak membakar sampah plastik yang justru melepaskan partikel ke udara.
“Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama setelah hujan atau saat udara kering. Ini bukan karena air hujannya berbahaya, tetapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” tutur Aji.
Selain itu, masyarakat didorong membawa botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja kain, serta aktif memilah sampah dari rumah. Langkah sederhana tersebut dianggap penting untuk mengurangi jumlah limbah plastik di lingkungan dan menekan pembentukan mikroplastik baru di masa depan.
Fenomena mikroplastik dalam air hujan menjadi pengingat bahwa krisis sampah plastik kini tidak lagi terbatas pada laut, tetapi telah menyatu dalam udara yang dihirup dan air yang turun dari langit menuntut kesadaran kolektif untuk menekan produksi dan konsumsi plastik sekali pakai sebelum dampaknya kian sulit dikendalikan.
Belum lama ini, Profesor Riset BRIN di bidang oseanografi, Muhammad Reza Cordova menemukan adanya partikel mikroplastik berbahaya dalam air hujan di Jakarta. Mikroplastik tersebut berasal dari degredasi limbah plastik hasil aktivitas manusia di perkotaan.
Sejak 2022, Reza dan timnya telah meneliti sampel air hujan di Jakarta dan menemukan mikroplastik di setiap sampel yang diperiksa. Mikroplastik yang ditemukan kebanyakan berbentuk fragmen kecil plastik dan serat sintetis.
“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” kata Reza dikutip dari laman BRIN, Jumat (17/10).
Jenis mikroplastik tersebut juga bisa berasal dari poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena. Per harinya, Reza menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi di kawasan pesisir ibu kota.
Reza menjelaskan mikroplastik bisa terangkat ke udara lewat debu jalanan, asap pembakaran atau aktivitas industri. Sehingga siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer.
Proses tersebut dinamakan sebagai atsmospheric microolatic deposition. Di mana, mikroplastik terangkat ke udara, lalu terbawa angin dan akhirnya turun bersama hujan.
“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” jelas Reza.

















































