Pakar Unhas Nilai Putusan MK Soal Pemilu 2029 Lebih Sehat untuk Demokrasi

2 months ago 27

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai 2029, pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak lagi dilakukan secara serentak. Format ‘lima kotak’ yang selama ini menyatukan pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu waktu resmi dihapus.

Putusan MK ini mendapat tanggapan dari pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Sukri Tamma. Ia menilai keputusan tersebut merupakan langkah korektif atas realitas kompleks yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu serentak selama dua edisi terakhir.

“Ini saya kira hasil dari evaluasi penyelenggaraan pemilu kemarin,” kata Sukri saat dimintai tanggapan, Jumat (27/06).

Menurutnya, konsep pemilu serentak yang awalnya diharapkan dapat menghemat energi, anggaran, dan mempercepat proses, ternyata tidak semudah itu dalam pelaksanaannya.

“Awalnya kita kira penyatuan waktu pemilu itu bisa menghemat tenaga dan efisiensi waktu. Tapi ternyata realitas di lapangan menunjukkan aspek-aspek yang jauh lebih rumit. Tidak hanya soal teknis, tapi juga aspek politik, manajerial, dan pengawasan yang luar biasa berat,” jelasnya.

Sukri menilai gagasan awal penyelenggaraan pemilu serentak memang cukup ideal secara konsep. Namun, praktiknya sangat kompleks.

“Semua beban kerja menumpuk dalam satu titik. Penyelenggara kelelahan, pemilih kebingungan, dan ruang konsolidasi politik menjadi sangat terbatas,” katanya.

Karena itulah, ia menyambut positif langkah MK memisahkan antara pemilu nasional dan daerah. Dalam putusan tersebut, pemilu nasional akan meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, serta DPD RI. Sementara pemilu daerah mencakup pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi serta kabupaten/kota.

“Dengan pemisahan ini, estimasi atau hitungan soal efektivitas pemilu serentak otomatis gugur. Artinya, negara sudah mengakui bahwa pendekatan serentak total itu tidak lagi relevan dalam konteks pemilu Indonesia yang sangat kompleks,” ujar Sukri.

Salah satu alasan mengapa Sukri menyambut baik putusan MK adalah karena pemisahan ini diyakini memberi ruang yang lebih sehat bagi konsolidasi demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Ia menyoroti jarak waktu yang terlalu dekat antara pemilu legislatif/presiden dan pilkada, yang selama ini kerap menciptakan pengaruh politis yang tidak proporsional.

“Pemilu dan pilkada yang terlalu berdekatan itu menyisakan pengaruh kuat dari satu ke yang lain. Misalnya hasil pemilu DPR bisa memengaruhi konstelasi pilkada. Ini kan tidak netral lagi jadinya,” ujar Sukri.

“Jadi dalam konteks sistem politik, pemisahan ini bisa jadi alat untuk memperjelas garis koordinasi dan orientasi politik publik.”

Menurutnya, pertanyaan yang tersisa kini adalah bagaimana efektivitas pelaksanaannya. Namun secara prinsip, ia menyebut langkah MK ini sebagai keputusan terbaik berdasarkan kondisi empiris yang ada.

“Saya kira ini yang terbaik saat ini. Kita tinggal lihat bagaimana nanti teknis penyelenggaraannya. Tapi sebagai keputusan kelembagaan, ini mencerminkan bahwa sistem kita masih bisa beradaptasi dan belajar dari pengalaman,” tutupnya.

Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang mengubah wajah demokrasi elektoral Indonesia. Putusan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Pemilu nasional, yang mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan DPD, akan digelar terpisah dari Pemilu daerah yang meliputi pemilihan gubernur, bupati/wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, pemisahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan menjaga fokus pemilih terhadap isu lokal dan nasional secara seimbang.

“Dengan sistem yang sekarang, isu daerah tenggelam di bawah sorotan isu nasional. Ini tidak sehat bagi demokrasi lokal,” kata Saldi dalam persidangan.

Ia menambahkan, kejenuhan pemilih akibat harus memilih banyak calon sekaligus dalam lima kotak suara juga berdampak pada kualitas partisipasi.

“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlalu banyak dan waktu mencoblos sangat terbatas. Ini berdampak langsung pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat,” tegasnya.

MK juga menilai bahwa jadwal pemilu yang terlalu padat, seperti dalam Pemilu 2024, menimbulkan beban berat bagi penyelenggara, partai politik, dan pemilih.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti bagaimana partai-partai politik kerap tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan kader terbaiknya.

“Partai politik akhirnya hanya mengejar popularitas, bukan kualitas. Ini membuka ruang seleksi berbasis transaksi dan pragmatisme semata,” ujar Arief.

“Perekrutan calon berbasis popularitas hanya demi elektoral itu adalah bukti betapa sistem saat ini mendorong degradasi demokrasi.” tambahnya.

Arief juga menyebut bahwa impitan tahapan antara pemilu legislatif dan pilkada menyebabkan overload bagi penyelenggara. “Masa kerja penyelenggara pemilu jadi tidak efisien. Mereka hanya bekerja efektif sekitar dua tahun dalam satu periode jabatan,” ungkapnya.

Mahkamah berpendapat bahwa waktu yang ideal antara pemilu nasional dan pemilu daerah adalah minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan anggota DPR/DPD.

“Ini untuk memberikan ruang waktu yang cukup, baik untuk evaluasi pemerintahan hasil pemilu nasional maupun untuk persiapan penyelenggaraan pemilu daerah,” ujar Saldi Isra.

Terkait masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024, MK menyerahkan pengaturannya kepada pembentuk undang-undang. Rekayasa konstitusional atau constitutional engineering dianggap perlu agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan beberapa pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, khususnya yang mengatur tentang keserentakan lima kotak.

Pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pemungutan suara dilaksanakan secara bertahap dengan jeda waktu minimal dua tahun antara pemilu nasional dan daerah.

Ketua MK Suhartoyo membacakan bunyi amar putusan, “Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden atau anggota DPR/DPD.”

Ke depan, konsekuensi dari putusan ini tidak hanya akan mengubah teknis pelaksanaan pemilu, tetapi juga menuntut penyesuaian besar dalam sistem kepartaian, kerja penyelenggara, hingga partisipasi masyarakat.

“Putusan ini bukan hanya soal jadwal. Ini adalah soal memperbaiki kualitas demokrasi kita dari hulu ke hilir,” pungkas Suhartoyo.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news