
KabarMakassar.com — Dinas Pendidikan Kota Makassar kembali menegaskan larangan tegas terhadap praktik penjualan seragam sekolah oleh pihak sekolah menjelang tahun ajaran baru 2025/2026.
Penegasan ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Kota Makassar dalam mencegah pungutan liar (pungli) dan menciptakan tata kelola pendidikan yang bersih, transparan, dan berkeadilan.
Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan ruang belajar yang inklusif dan bebas tekanan ekonomi bagi orang tua siswa, terutama dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Mereka kerap menjadi korban dari praktik penjualan seragam tidak resmi yang memberatkan.
Namun, di tengah upaya pemerintah tersebut, keluhan masyarakat justru ramai bermunculan di media sosial, khususnya di platform X (sebelumnya Twitter) dan Facebook. Warganet secara terbuka membagikan pengalaman pribadi terkait pembelian seragam sekolah dengan harga yang dianggap memberatkan, bahkan disebut sebagai “paket wajib” bagi siswa baru.
Salah satu pengguna X dengan akun @thamiutami mengungkapkan, “Dimana ki melapor klo ada sekolah yg mengadakan paket seragam untuk siswa baru? Anakku yg pertama baru masuk SD, tahun lalu di sekolahnya 630 ribu. Anakku yg kedua tahun ini masuk SD, paket seragamnya 500 ribu.” (Minggu, 13 Juli).
Keluhan serupa disampaikan akun @AtikAzharNavy yang mempertanyakan pengawasan dari dinas pendidikan. “Hampir semua sekolah di Makassar jual baju, ini orang Dinas Pendidikan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”
Sementara itu, akun @Yuanita mengungkapkan kebingungan masyarakat terkait perbedaan model seragam, “Bukannya baju olahraga, batik dan modern school itu tiap sekolah beda-beda ya? Jadi kalau tidak beli di sekolah, beli di mana?”
Akun @butterfly1407 juga menyoroti tekanan psikologis yang dialami orang tua. “Saya anakku sudah bayar 315 ribu buat baju olahraga dan batik plus lambang-lambangnya… apa daya kita masyarakat awam kek aku, nurut aja supaya anak nggak malu nanti. Karena aku pernah dibully sama guru…”
Akun @Ades bahkan mempertegas dugaan adanya pembiaran dengan mengulang pernyataan, “Hampir semua sekolah di Makassar jual baju, ini orang Dinas Pendidikan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.”
Tak hanya dari warganet, keluhan juga datang langsung dari orang tua siswa. Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa salah satu SMP negeri di Makassar menawarkan paket seragam sekolah hingga Rp1,2 juta.
“SMP 35. Katanya 1,2 (juta) kalau ambil lengkap. Pakaian putih biru, pramuka, olahraga, pakaian batik, ada satu pakaian IG katanya pakaian modern. Kalau diambil semua 1,2 (juta), tapi kalau sudah ada pakaian pramuka dan putih biru itu bisa kurang sedikit,” ujarnya melalui pesan tertulis di messages.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap efektivitas pengawasan dinas pendidikan serta sejauh mana larangan yang diumumkan benar-benar dijalankan di lapangan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Achi Soleman, menjelaskan bahwa larangan ini telah lama diteken dan berlaku hingga saat ini. Tujuan utamanya adalah melindungi sekolah dari praktik komersialisasi yang menyasar siswa dan orang tua.
“Larangan jual seragam ini sebenarnya sudah diteken sejak masa Plt Kadisdik Makassar Andi Bukti. Ini bagian dari pencegahan agar tidak ada lagi pungli di sekolah. Kita ingin sekolah mendidik, bukan berdagang,” kata Achi, Kamis (11/07).
Achi menegaskan bahwa larangan ini tidak hanya berlaku pada seragam utama, tetapi juga pada seragam olahraga, batik, maupun atribut lainnya. Penjualan seragam oleh sekolah dianggap bertentangan dengan prinsip akuntabilitas, apalagi jika disertai dengan keuntungan pribadi atau institusi.
“Kadang ada sekolah yang ngotot karena sudah stok banyak. Tapi praktik itu harus dihentikan. Sekolah jangan ambil untung dari siswa,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa aturan ini secara khusus menyasar siswa baru yang belum memiliki seragam lengkap. Pihak sekolah diminta tidak mengambil inisiatif untuk menjual bahkan dengan dalih ‘memudahkan’ orang tua. Sebaliknya, masyarakat diberikan keleluasaan untuk membeli seragam dari tempat mana pun di luar sekolah.
“Silakan masyarakat beli di mana saja, sesuai kemampuan dan kenyamanan masing-masing. Sekolah jangan ikut bermain,” ujar Achi.
Larangan ini juga sejalan dengan imbauan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang meminta lembaga pendidikan tidak menjadi titik awal praktik pungli berkedok kebutuhan siswa. Achi menyebut bahwa sekolah sering kali menjadi sorotan karena terlibat dalam skema penjualan seragam yang tidak transparan.
“Kita patuh pada edaran KPK. Ini bentuk perlindungan terhadap siswa dan sekolah itu sendiri. Sekolah tidak boleh jadi ladang bisnis,” ungkapnya.
Lebih jauh, Achi menilai bahwa tekanan yang muncul akibat larangan ini berasal dari pihak-pihak yang selama ini mendapat keuntungan dari penjualan seragam secara terselubung. Ia bahkan menyebut adanya pola distribusi yang menyerupai kartel.
“Memang ada yang merasa dirugikan karena sudah stok. Tapi kita tidak bisa membiarkan sekolah terus-menerus jadi tempat dagang seragam. Ini menyangkut integritas pendidikan kita,” ujarnya.