
KabarMakassar.com — Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulsel memasuki usia ke 27 tahun, dalam fase ini PKB membuat rangkaian diskusi. Dalam diskusi spesial perayaan Harla yang dilakukan di Kantor DPW PKB Sulsel itu, Sabtu (19/07), berubah menjadi momentum blak-blakan Pemerintah Provinsi Sulsel yang mengejutkan.
Kepala Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. Setiawan Aswad, memanfaatkan forum politik tersebut untuk mengungkap secara terang-terangan gagalnya penyelesaian 18 masalah strategis dalam RPJMD Sulsel periode 2020–2024.
Setiawan tidak menutup-nutupi. Dalam penjelasannya, ia menyampaikan bahwa setelah lima tahun masa RPJMD berjalan, Sulsel masih berkutat pada ketimpangan ekonomi, tingginya angka kemiskinan, buruknya kualitas pendidikan dan kesehatan, hingga rendahnya daya saing tenaga kerja.
“Kita sudah lewat masa RPJMD, tapi saat kita buka datanya satu-satu, problemnya bukan berkurang justru semakin kompleks,” ungkap Setiawan di hadapan hadirin Harla PKB Sulsel.
Ia dibeberkan adalah pendapatan per kapita yang belum merata, dengan Sulsel masih berada di urutan ke-16 dari 38 provinsi. Gini rasio yang tinggi mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Semakin tinggi gini rasio, berarti ketimpangan makin parah. Dan inilah yang sedang kita hadapi hari ini,” tegasnya.
Data menunjukkan Sulsel masih berada di peringkat ke-20 dari 28 provinsi terkait tingkat kemiskinan, dengan konsentrasi terbesar di wilayah pedesaan. Derajat kesehatan masyarakat pun belum membaik signifikan. Angka kematian ibu dan anak masih di angka 138 per seribu kelahiran hidup, dan usia harapan hidup masih di bawah rata-rata nasional.
Setiawan juga menyoroti rata-rata lama sekolah yang rendah dan layanan pendidikan yang tidak merata. Lebih jauh, ia mengangkat soal moderasi beragama dan budaya yang mengalami pasang surut. Sulsel dinilai belum mampu membentuk generasi berkualitas karena isu toleransi, kesetaraan gender, dan kohesi sosial belum diatasi secara serius.
Lemahnya integrasi ekonomi Sulsel dengan pasar nasional dan regional ditandai oleh turunnya nilai ekspor. Sementara itu, kurang dari 50 persen desa di Sulsel berstatus mandiri, menandakan lemahnya pembangunan di level akar rumput. Daya saing tenaga kerja juga dinilai sangat rendah.
“Kalau kita bicara industri, pariwisata, ekonomi kreatif semua butuh SDM. Tapi kalau SDM kita tidak siap, jangan heran kalau pertumbuhan kita stagnan,” ucapnya.
Setiawan menilai birokrasi Sulsel belum adaptif dan belum mampu mengimbangi tuntutan digitalisasi dan reformasi layanan publik. Bahkan, kinerja pembangunan infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan, dan pelabuhan dinilai jauh dari kata memadai.
“Kalau irigasi kita rusak, jalan provinsi menurun kualitasnya, pelabuhan tidak optimal, lalu kita bicara lompatan ekonomi itu mimpi,” kata dia.
Ia menyoroti minimnya ketahanan Sulsel terhadap bencana dan perubahan iklim. Indeks risiko bencana masih tinggi, berdampak langsung pada keselamatan warga dan kerusakan infrastruktur seperti rumah sakit dan sekolah. Sementara itu, lingkungan hidup menjadi persoalan serius yang belum dijawab dengan kebijakan konkret.
Ia menegaskan, data evaluasi ini akan menjadi bahan koreksi mendalam untuk penyusunan RPJMD berikutnya.
“Kita harus berani jujur pada diri sendiri. Tanpa keberanian mengakui kegagalan, kita tidak akan pernah bergerak maju,” tutupnya.