KabarMakassar.com — Rencana relokasi pedagang Pasar Terong muncul setelah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, ingin mengembalikan fungsi jalan sekitar kanal di Makassar.
Meski begitu, relokasi ini memicu kekhawatiran baik dari kalangan pedagang maupun legislator di DPRD Kota Makassar. Mereka menegaskan bahwa relokasi tak boleh sekadar menggusur, tapi harus menjamin kelangsungan usaha dan kesejahteraan pedagang.
Anggota Komisi B DPRD Makassar, Basdir, menegaskan bahwa pihaknya menolak relokasi yang justru mematikan usaha masyarakat kecil.
Menurutnya, pemindahan pedagang harus diiringi dengan penataan lokasi yang lebih layak dan strategi meramaikan pasar baru.
“Kita tidak mau ada relokasi yang sifatnya membunuh usaha para pedagang,” kata Basdir.
“Relokasi ke depan itu harus membawa kebaikan, baik dari sisi tempat maupun konsumennya. Ini bukan cuma soal memindahkan, tapi bagaimana menciptakan kondisi yang lebih baik.” tambah Basdir, Kamis (10/07).
Ia menyebut, kondisi pasar yang kini kumuh memang harus dibenahi, namun Pemkot bersama Perumda Pasar harus memastikan bahwa lokasi relokasi aman secara konstruksi dan legalitasnya jelas.
Selain itu, strategi pemerintah dalam menarik konsumen juga menjadi hal yang krusial agar relokasi tak berujung pada pasar sepi dan mati fungsi.
“Jangan sampai relokasi ini hanya disimpan begitu saja, lalu diabaikan. Kami pasti akan kawal,” tegasnya. “Setelah relokasi dilakukan, kami akan lihat bagaimana upaya pemerintah dalam menarik konsumen dan menyelesaikan persoalan legalitas. Ini harus ditindaklanjuti secara serius.”
Sementara itu, perwakilan pedagang Pasar Terong, Zainal, menyampaikan sejumlah keberatan dan pengalaman buruk di masa lalu saat pedagang dipindahkan ke gedung baru.
Menurutnya, gedung pasar yang lama memang sudah tak layak, namun proses pemindahan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa menjawab berbagai kekhawatiran pedagang.
“Gedung itu umurnya sudah 30 tahun, sementara dalam aturan, usia gedung maksimal 25 tahun. Tapi bukan berarti kita bisa dipindahkan begitu saja tanpa kejelasan,” ungkap Zainal.
“Pasar jadi sepi karena modelnya kotak-kotak, tidak sesuai harapan pedagang yang inginkan hamparan. Harga los juga terlalu tinggi, sebanding dengan KPS atau harga rumah.”
Zainal menuntut agar relokasi disiapkan secara matang. Ia menyebut ada empat syarat yang harus dipenuhi pemerintah sebelum pedagang bersedia pindah: pembenahan pasar, kejelasan soal harga dan pemilik, penghapusan aktivitas jualan liar di sepanjang Jalan Sawi, serta jaminan bahwa relokasi kali ini tidak akan kembali membuat pedagang merugi.
“Kami sudah pernah dipindahkan dua kali dan hasilnya mati modal. Kalau pindah lagi untuk keempat kalinya dan tidak ramai pembeli, mohon maaf, kami akan turun kembali,” ujarnya.
“Kami mau pindah kalau pasar sudah dibenahi, ada kepastian harga, dan tidak ada lagi pedagang liar yang menjual di sepanjang jalan. Kalau masih ada, itu tidak adil,” sambungnya.
“Yang kami pertanyakan ini mau benahi kanal atau menyejahterakan manusia? Buat apa kanal bagus tapi rakyatnya menderita?”
Sebelumnya, sejumlah pedagang Pasar Terong di Jalan Sawi mendatangi DPRD Kota Makassar untuk mengadukan rencana relokasi Pemerintah kota (Pemkot) yang dinilai tidak manusiawi dan berpotensi merugikan penghidupan mereka.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi B DPRD Makassar, Selasa (08/07), para pedagang secara terbuka menyuarakan keberatan mereka terhadap rencana pemindahan ke gedung lama Pasar Terong yang dianggap tak layak huni.
Ketua Asosiasi Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, Daeng Masalle, menegaskan bahwa sebagian besar pedagang menolak rencana relokasi karena kondisi bangunan lama dinilai membahayakan.
Menurutnya, bangunan tersebut telah berdiri sejak tahun 1995 dan kini mengalami banyak kerusakan fisik.
“Sudah 30 tahun lebih usianya. Plafon sudah pernah jatuh, kalau hujan air masuk dari mana-mana. Beton betonnya sudah banyak yang retak. Gedung itu bukan lagi tempat yang aman untuk berjualan,” kata Masalle saat RDP.
Ia menjelaskan, ada sekitar 400 pedagang yang beraktivitas di sepanjang Jalan Sawi, bagian dari kompleks Pasar Terong yang totalnya mencakup sekitar 8,7 hektare dan terdiri dari 15 ruas jalan.
Menurut Masalle, penataan ulang pasar tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus mempertimbangkan keseluruhan ekosistem ekonomi yang sudah terbentuk selama puluhan tahun.
“Kalau mau ditata, tata semua secara adil dan bijak. Jangan hanya sebagian yang dibenahi, sementara yang lain diabaikan. Pasar ini punya sejarah, punya kehidupan ribuan orang,” ujarnya.
Masalle menegaskan, para pedagang tidak anti terhadap relokasi, asalkan pemerintah menyediakan lokasi yang benar-benar layak, aman, dan menjamin kelangsungan usaha.
Ia menyebut para pedagang justru mendukung penataan yang bisa memberikan kenyamanan dan keteraturan, namun bukan dengan memaksakan pindah ke tempat yang mengancam keselamatan.
“Kalau disiapkan tempat yang layak, ya kami ikut. Siapa sih yang tidak ingin tertib? Tapi tempatnya harus manusiawi. Jangan dipaksa pindah ke bangunan yang hampir roboh,” tambahnya.