KabarMakassar.com — Direktur Operasional dan Teknologi Informasi Bank Sulselbar, Iswadi Ayub, angkat bicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi D DPRD Makassar dan Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) pada Rabu (16/07), terkait keluhan pemotongan administrasi terhadap insentif pekerja keagamaan.
Dalam forum tersebut, Iswadi menyampaikan permintaan maaf sekaligus menegaskan komitmen pihaknya untuk melakukan pembenahan layanan, namun menekankan perlunya dukungan administratif dari Pemerintah Kota Makassar.
“Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari layanan kami. Komitmen kami di Bank Sulselbar adalah untuk memperbaiki kondisi ini secepatnya,” ujar Iswadi.
Ia menambahkan bahwa pihaknya terbuka melakukan migrasi layanan atau pembukaan jenis tabungan khusus, seperti Tabungan KUR, namun langkah tersebut memerlukan dasar administratif dari pemerintah kota.
Iswadi menjelaskan bahwa selama ini pola pembukaan rekening dilakukan berdasarkan saran individual tanpa arahan teknis yang terstruktur. Akibatnya, banyak penerima insentif yang datang ke bank tanpa tahu jenis rekening yang harus dibuka.
“Ada yang bahkan sudah punya rekening mobile banking, tapi bingung harus buka rekening apa lagi. Kalau ada surat atau arahan resmi dari pemkot, kami bisa arahkan langsung jenis rekeningnya,” terangnya.
Selain itu, Iswadi menyinggung soal kemungkinan pemberian diskresi dalam bentuk pembebasan biaya layanan kartu ATM dan mobile banking. Namun, diskresi tersebut, menurut dia, hanya bisa diberikan jika ada permintaan resmi dari pemkot sebagai dasar hukum.
“Kalau tidak ada permintaan tertulis, kami bisa diperiksa. Aturannya jelas. Tapi kalau ada surat permintaan dari Pemkot Makassar, kami akan evaluasi dan tindak lanjuti sesuai regulasi,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa masalah yang terjadi bukan semata pada teknis bank, melainkan juga komunikasi dan koordinasi antar instansi.
“Ini sebenarnya masalah komunikasi dan administrasi. Saya sering hadir di forum seperti ini bukan karena seremonial, tapi untuk mendengar langsung keluh kesah dari bapak-ibu sekalian,” ujarnya.
BPD Sulselbar, kata Iswadi, telah memiliki kanal pengaduan resmi, baik melalui customer service maupun hotline 15.000. Namun ia menyadari bahwa dalam pelaksanaannya, layanan tersebut belum maksimal menjawab kebutuhan ribuan penerima insentif keagamaan di Kota Makassar.
“Jika kita ingin membenahi sistem ini, ayo kita mulai dari komunikasi yang jelas. Minimal ada surat dari pemerintah kota, dan kami siap bersinergi,” tegasnya.
Terkait terblokirnya ratusan rekening penerima insentif secara tiba-tiba serta lamanya proses verifikasi data yang mencapai satu bulan, Iswadi menegaskan, “Kalau surat permintaannya ada, sepanjang tidak menyalahi regulasi, kami komitmen untuk mendukung penuh dan memperbaiki semua yang menjadi keluhan.”
Ia menegaskan, pihak Bank Sulselbar akan lebih optimal menjalankan fungsi sebagai mitra pemerintah dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.
“Kami juga tidak mau seolah-olah menahan Intensif pekerja keagamaan yang ada di kota Makassar, kami berharap pemkot juga ikut membantu dalam masalah ini,” Pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Kota Makassar, Muhammad Syarif, meluapkan kekecewaannya atas buruknya layanan dan potongan administrasi dari bank mitra pemerintah Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (BPD Sulselbar) dalam penyaluran insentif untuk pekerja keagamaan.
Hal tersebut disampaikan Syarif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi D DPRD Makassar, Rabu (16/07). Ia menyebut layanan BPD Sulselbar telah menyulitkan ribuan imam masjid dan guru mengaji penerima insentif.
Syarif mengungkapkan, saat ini tercatat 5.088 pekerja keagamaan yang menerima insentif dari Pemkot Makassar, yang besarannya ditetapkan Rp250 ribu per bulan.
Skema ini merupakan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya, namun kini dibayarkan rutin bulanan sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa para tokoh agama di tengah masyarakat.
Namun, alih-alih berjalan lancar, penyaluran dana justru kerap tersendat. Salah satu yang disorot Syarif ialah lamanya proses verifikasi dan banyaknya rekening penerima yang tiba-tiba dinyatakan pasif atau bahkan terblokir. Ia menilai hal ini sebagai bentuk pelayanan yang tidak masuk akal dan merugikan.
“Bayangkan, dari 2.000 rekening guru mengaji yang sudah pernah kami salurkan insentifnya, saat giliran pencairan bulan berikutnya, 343 rekening dinyatakan pasif dan bahkan terblokir. Padahal, masa tidak aktif seharusnya baru terjadi setelah 6 bulan. Ini cuma 3 bulan, sudah tidak aktif. Ini aneh,” ungkap Syarif.
Menurutnya, bukan pihak bank yang melakukan verifikasi data, melainkan tim dari Kesra sendiri yang bekerja keras memastikan keaktifan rekening, bahkan menggunakan layanan SMS banking secara manual. Ia menegaskan, staf Kesra-lah yang menghubungi penerima dan mengecek status rekening satu per satu, bukan pihak bank.
“Kami yang kerja setengah mati, verifikasi manual, kirim data, cek satu-satu rekening aktif atau tidak. Tapi justru bank yang lambat memproses dan minim komunikasi. Kalau tidak didesak, balasan bisa sampai berhari-hari. Bahkan saat kami tanya ‘sudah cair mi?’, baru mereka cek,” bebernya.
Kesra sendiri telah membangun aplikasi pelaporan mandiri sebagai prasyarat pencairan insentif. Melalui aplikasi tersebut, imam masjid dan guru mengaji dapat mengirimkan laporan bulanan tanpa harus datang langsung ke kantor Kesra. Sistem ini disebut sebagai bentuk efisiensi dan kemudahan layanan, yang bahkan diadopsi dari praktik di Surabaya.
Namun, meski sistem sudah dibangun, Syarif menyayangkan bahwa justru hambatan datang dari pihak bank. Tak hanya soal rekening pasif, ia juga menyoroti potongan administrasi yang dirasa membebani penerima. Ia menyebut, terdapat potongan Rp11.000 per pencairan yang jika dikalikan dengan total penerima bisa mencapai ratusan juta rupiah dalam setahun.
“Kalau Rp11.000 dikali 5.088 orang, itu sudah Rp56 juta lebih per bulan. Dalam setahun bisa Rp671 juta hanya untuk potongan admin. Belum lagi potongan pajak. Akhirnya, dari dana Rp250 ribu, yang diterima guru mengaji bisa-bisa cuma Rp200 ribu. Sisanya? Hilang,” tegasnya.
Ia bahkan menyebut, ada laporan bahwa pada bulan Maret dan April, sebagian penerima hanya menerima Rp210 ribu. Padahal, seluruh syarat administrasi dan laporan telah dipenuhi. Syarif menyebut hal ini sebagai bentuk “uang mati” yang tidak jelas ke mana perginya.
“Kami mendengar dari guru mengaji, mereka menerima Rp200 ribu saja. Sementara kami sudah anggarkan Rp250 ribu. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan. Kalau seperti ini terus, kita dipermalukan,” ujarnya penuh emosi.
Tak hanya itu, Syarif juga menyoroti ketidakseimbangan dalam perlakuan anggaran. Ia menyebut, bagian Kesra justru sulit menganggarkan honorarium staf, sementara lembaga lain dengan MOU tertentu bisa mencairkan dana tanpa hambatan.
“Kami saja dipersulit untuk anggarkan honor. Tapi ada instansi yang bisa cair puluhan juta per bulan untuk admin. Kami ini kerja dari pagi sampai malam, tapi diperlakukan seakan-akan kami bukan bagian dari pemerintahan ini. Kami tertekan dari atas, dan disulitkan dari bawah,” keluhnya.