
KabarMakassar.com — Di tengah bayang-bayang krisis pangan global dan ketimpangan sistem distribusi di dalam negeri, Komisi IV DPR RI kembali menggulirkan revisi atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU melakukan kunjungan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama para akademisi lintas disiplin, beberapa waktu lalu.
Kunjungan ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak menilai bahwa UU Pangan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya menjawab tantangan di lapangan. Mulai dari lemahnya pengaturan cadangan pangan nasional, minimnya proteksi terhadap petani kecil, hingga belum optimalnya sistem distribusi yang adil antarwilayah.
Ketua Panja sekaligus Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Soeharto, menegaskan pentingnya pembaruan regulasi yang bersifat adaptif dan kontekstual.
“Revisi ini bukan sekadar formalitas hukum. Ini soal bagaimana kita bisa menjamin pangan yang cukup, aman, dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia, serta memastikan bahwa petani, peternak, dan nelayan tidak terus-menerus menjadi korban sistem,” ujarnya, Minggu (11/05).
Dalam diskusi tertutup yang berlangsung di kampus IPB Dramaga, kata Titi sejumlah guru besar menyampaikan kritik terhadap lemahnya keberpihakan negara dalam UU Pangan yang lama.
Menurut mereka, perlindungan terhadap pelaku usaha lokal masih sangat minim. Petani kerap kalah bersaing dengan produk impor, sementara regulasi tak memberi ruang negosiasi yang adil.
Salah satu sorotan dalam FGD tersebut adalah soal ketahanan pangan yang kerap disalahartikan sebagai kecukupan stok semata.
“Padahal ketahanan pangan sejati juga menyangkut keberlanjutan produksi, akses merata, dan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli,” ujar menirukan sorotan salah satu akademisi IPB.
Masukan lain menyoroti pentingnya cadangan pangan pemerintah yang saat ini belum diatur secara detail dan cenderung bersifat reaktif.
“Ketika krisis datang, negara sering gagap. Ini bukti bahwa UU kita belum kuat di aspek antisipasi. Revisi ini harus memperbaiki itu,” tegasnya.
Titi Soeharto merespons dengan menyatakan bahwa masukan-masukan dari IPB sangat penting untuk memperdalam substansi revisi. Ia memastikan bahwa Komisi IV akan terus menggandeng akademisi, pelaku industri, dan kelompok tani dalam proses pembahasan berikutnya.
“Kami menargetkan agar swasembada pangan tercapai sebelum 2027. Tapi itu tak cukup hanya dengan program jangka pendek. Kita butuh fondasi hukum yang jelas, adil, dan berpihak. Dan itu hanya bisa terwujud dengan menyerap sebanyak mungkin pandangan dari lapangan,” ungkap Titi.
Dalam kesempatan itu, DPR juga menyampaikan niatnya untuk menampung lebih banyak perspektif dari lembaga riset, asosiasi pangan, dan komunitas lokal. Tujuannya agar revisi UU ini tidak hanya menjawab kebutuhan pemerintah, tetapi juga mencerminkan aspirasi rakyat kecil yang selama ini jarang terdengar dalam ruang kebijakan.
“UU Pangan yang baru harus menyentuh mereka yang bekerja paling keras dalam rantai pangan tapi paling sedikit menikmati hasilnya—petani, peternak, dan nelayan. Ini soal keadilan,” terangnya.
Dengan dimulainya proses FGD seperti di IPB, publik kini menaruh harapan besar agar revisi UU Pangan tak hanya menjadi agenda legislatif tahunan, tapi benar-benar menjadi momentum reformasi sistem pangan nasional.