
KabarMakassar.com – Anggota Komisi E DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Yeni Rahman, melontarkan kritik tajam terhadap sistem penerimaan siswa baru (SPMB) tingkat SMA/SMK di sekolah negeri, khususnya terkait konsep sekolah unggulan dan penggunaan Kartu Keluarga (KK) dalam jalur domisili.
Hal tersebut ia sampaikan usai menghadiri rapat Komisi E bersama Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sulsel yang digelar di Kantor DPRD Sulsel, Selasa (06/05).
Menurutnya, sistem yang berlaku saat ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip pemerataan akses pendidikan.
Yeni membuka pernyataannya dengan menyoroti sekolah unggulan yang selama ini diposisikan sebagai pusat keunggulan akademik dan fasilitas. Ia tidak menampik bahwa sekolah unggulan memang dihuni oleh guru-guru terbaik dan memiliki sarana yang lengkap.
Namun, ia menegaskan bahwa konsep unggulan seharusnya tidak sebatas menampung anak-anak cerdas dan berprestasi.
“Kepala sekolah itu dinilai berhasil bukan karena menampung semua anak hebat, tapi karena mampu mengubah anak-anak bermasalah jadi luar biasa. Itu baru sekolah unggulan yang sesungguhnya,” ujarnya.
Yeni menyebut sistem sekolah unggulan justru berpotensi menciptakan diskriminasi, terutama bagi anak-anak dari daerah kabupaten atau luar kota Makassar.
Dengan konsentrasi guru terbaik dan fasilitas modern yang hanya berpusat di sekolah-sekolah unggulan tertentu, pemerataan pendidikan menjadi sulit tercapai.
“Kalau semua anak cerdas dan guru terbaik hanya ada di satu sekolah, bagaimana dengan sekolah lain? Anak-anak itu harusnya bisa berbaur agar kecerdasannya bisa menular, bukan dikotak-kotakkan,” tambahnya.
Yeni menyarankan agar keunggulan tidak hanya terpusat. Pemerintah, menurutnya, harus mendorong semua sekolah untuk menjadi unggul melalui pelatihan guru, distribusi fasilitas yang merata, dan apresiasi bagi kepala sekolah yang berhasil membina siswa dengan latar belakang beragam.
“Kalau sekolahnya maju, kepala sekolah harus diapresiasi. Umrah misalnya, itu bentuk penghargaan. Tapi jangan sampai semua fokus hanya ke satu-dua sekolah. Pemerataan itu yang kita dorong,” jelasnya.
Tak hanya soal keunggulan, Yeni juga menyoroti jalur domisili pada SPMB yang rawan manipulasi. Ia memaparkan bahwa dalam masa reses, dirinya menerima banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya praktik “nebeng KK” atau pemanfaatan alamat orang lain agar bisa masuk zonasi sekolah favorit.
“Satu KK tiba-tiba bisa punya tiga sampai empat anak. Padahal tidak ada kehamilan kembar. Anak-anak itu jelas bukan dari keluarga tersebut, tapi masuk lewat jalur domisili. Dan ini dibenarkan oleh sistem,” katanya prihatin.
Ia juga mempertanyakan bagaimana sistem kependudukan bisa begitu mudah dimanipulasi, dan mendesak agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) melakukan evaluasi serius.
Oleh karena itu, Yeni meminta agar penerimaan siswa berdasarkan KK hanya berlaku bagi yang berdomisili minimal dua tahun.
“Kalau KK baru seumur jagung, jangan langsung bisa dipakai. Kita butuh regulasi tegas. Karena ini bukan hanya soal pendidikan, tapi soal keadilan,” tegasnya.
Selain itu, Yeni juga mengkritisi kebijakan domisili yang dinilainya hanya permainan kata. Menurutnya, zonasi dan domisili hanyalah istilah berbeda untuk sistem yang sama yang pada akhirnya tetap membuka celah manipulasi dan eksklusi.
“Penerimaan siswa sekarang dan dulu itu sama saja. Cuma beda istilah. Zonasi, domisili semua cuma permainan kata. Yang jadi korban tetap masyarakat kecil yang anaknya tidak bisa masuk sekolah berkualitas,” ujarnya.
Yeni berharap ke depan pendidikan di Sulawesi Selatan tidak lagi berpihak hanya pada yang cerdas, beruntung, atau dekat sekolah, tapi benar-benar adil bagi semua anak bangsa.